I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai sumber
daya laut yang melimpah.Dengan panjang garis pantai 81.000 km. Indonesia mempunyai
potensi yang sangat besar untuk pengembangan budidaya laut. Upaya pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara optimal dan lestari merupakan tuntutan yang sangat
mendesak bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan
kesejahteraan nelayan/petani ikan, memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, memperluas
lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan ekspor untuk
menghasilkan devisa negara.
Salah satu komoditi perikanan yang
memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan kerapu. Permintaan
terhadap ikan kerapu (Epinephelus spp.)
yang tinggi mendorong para nelayan untuk melakukan penangkapan, sehingga
mengakibatkan eksploitasi ikan ini sering dilakukan tanpa memperhatikan
lingkungan yaitu dengan menggunakan bahan peledak atau potassium.
Budidaya
yang saat ini telah banyak dilakukan oleh masyarakat tak lain adalah untuk
pemenuhan permintaaan pasar yang semakin meningkat serta penyelamatan habitat
ikan itu sendiri akibat exploitasi yang berlebihan. Budidaya dalam subsektor perikanan
belakangan ini telah berkembang dengan pesat dimana usaha untuk meningkatkan
produksi telah mengarah kepada usaha budidaya secara intensif.
Salah satu permasalah yang timbul pada budidaya ikan
kerapu adalah terjadinya penyakit. Menurut Rosa et al (2002a,b; 2003) berdasarkan penyebabnya, penyakit digolongkan
ke dalam penyakit infeksi (protozoa, cacing, bakteri dan virus) dan penyakit
non infeksi (lingkungan, bahan beracun dan nutrisi)
Penyakit yang disebabkan oleh virus, adalah penyakit yang
sangat berabahaya dalam budidaya ikan kerapu (Danayadol, 1999 dalam Roza et al., 2003). Virus merupakan organisme sedarhana yang masih
dapat lolos walaupun disaring dengan ultra filter yang bersifat obligat parasit
dan menyerang serta memperbanyak diri pada inangnya. Virus dapat digolangkan
menjadi virus RNA dan DNA.
Oleh karena penyakit yang disebabkan oleh virus merupakan
salah satu kendala yang dihadapi dalam budidaya baik dalam pembenihan maupun
pembesaran. Maka dari itu penulis
memilih judul aplikasi vaksin bakteri polivalen dengan vaksin grouper sleeping disease iridovirus (GSDIV)
untuk pencegahan penyakit ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan penulisan tugas
akhir ini yaitu untuk mengetahui cara pegendalian dan penanganan penyakit ikan kerapu macan di Labolatorium Patologi Balai Besar
Penenlitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol, Bali.
Sedangkan
kegunaannya yaitu
dapat menambah wawasan kepada penuli serta
menjadi bahan informasi ilmiah atau refrensi
kepada masyarakat yang berkecimpung pada usaha budidaya ikan kerapu
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taksonomi Ikan Kerapu Macan
Klasifikasi ikan kerapu (Epinephelus fuscoguttatus) menurut Myers, et.al. (2005)
dalam Naisirah (2012), kerapu macan (E. fuscoguttatus) diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Chordata,
Subfilum : Vertebrata,
Klas : Osteichtyes,
Subklas : Actinopterigi
Ordo : Percomorphi,
Subordo : Percoidea,
Famili : Serranidae
Subfamili : Epinephelinae
Genus : Epinephelus
Spesies : Fuscoguttatus
2.2 Morfologi
Kerapu macan mempunyai bentuk badan
yang pipih memanjang dan agak membulat. Mulut lebar dan di
dalamnya terdapat gigi kecil yang runcing. Direktorat
Jendral Perikanan Depertemen Pertanian , menjelaskan
bahwa rahan bawah dan atas dilengkapi dengan gigi yang
berderet 2 baris lancip dan kuat. Kerapu macan mempunyai
jari-jari sirip yang keras pada sirip punggung 11 buah,
sirip dubur 3 buah, sirip dada 1 buah dan sirip perut 1 buah.
Jari-jari sirip yang lemah pada sirip puggung terdapat 15-16 buah, sirip dubur 8 buah, sirip dada 17 buah dan sirip perut 5 buah
Kerapu macan
memiliki warna seperti sawo matang dengan tubuh bagian verikal agak putih. Pada permukaan tubuh terdapat 4-6
pita vertical berwarna gelap serta terdapat noda berwarna
merah seperti warna sawo (Gambar 1)
mata
|
ekor
|
Sirip punggung
|
Sirip dubur
|
Sirip perut
|
mulut
|
2.3 Makanan
dan Cara Makan
Ikan kerapu macan merupakan hewan
karnifora yang memansa ikan-ikan kecil, kepiting, dan
udang-udangan, sedangkan larva merupakan memansa larva moluska. ikan kerapu macan bersifat
karnifora dan cenderung menangkap/memangsayang aktif bergerak di dalam
kolam air (Anonim, 2001),
ikan kerapu macan juga
bersifat kanibal. Biasanya mulai terjadi saat larva
kerapu berumur 30 hari, dimana pada saat
itu larva cenderung berkumpul di suatu tempat dengan kepadatan
tinggi
Ikan kerapu macan mencari makan hingga
menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya dengan cara
makannya dengan memakang satu persatu makanan yang
diberikan sebelum makan tersebut sampai ke dasar.
2.4 Kualitas Air
2.4.1 Suhu
Suhu sangat berpengaruh terhadap
kehidupan dan pertumbuhan ikan. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan
dengan kenaikan suhu samapai batas tertentu yang dapat menekan kehidupan ikan dan
bahkan dapat menyebabkan kematian. Hal
ini disebabkan pengaruh langsung kelarutan
gas – gas di dalam air termasuk oksigen. Semakin tinggi suhu , semakin kecil
kelarutan oksigen dalam air, padahal kebutuhan oksigen dalam air bagi ikan
semakin besar karena tingkat metabolisme semakin tinggi. Kisaran optimal suhu yang baik bagi kehidupan
ikan kerapu adalah 25 – 32 ppt. (Slamet,
B. 1993 dalam Koesharyani 2001)
2.4.2 Salinitas
Salinitas ( kadar garam ) merupakan konsentrasi garam dalam air laut. Salinitas
sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik sel tubuh. Dengan demikian, bila
seekor ikan dipindahkan dari habitat aslinya, misalnya dari salinitas tinggi ke
salinitas yang rendah maka ikan tersebut akan menghadapi ancaman kematian,
kecuali ikan tersebut mampu mentoleransi perubahan tersebut. Ikan kerapu umumnya menyukai salinitas 30 –
35 ppt. (Sugama 1996 dalam Koesharyani 2001)
2.4.3 pH
Gerajat keasaman air ( pH ) dapat mempengaruh pertumbuhan ikan. pH air yang
rendah atau sangat asam dapat menyebabkan kematian pada ikan dengan gejala
gerak yang tidak teratur, tutup insang tidak bergerak aktif dan berenag sangat
cepat dipermukaan air. Keadaan air yang sangat basah menyebabkan pertumbuha
ikan terhambat. Adapun kisaran pH yang
baik untuk budidaya ikan kerapu yaitu 6,7 – 8,2
2.5 Pertumbuhan Ikan Karapu Macan
Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran
panjang atau berat dalam satu ukuran waktu, sedangkan bagi populasi adalah
pertambahan. Pertumbuhan merupakan
proses biologi yang kompleks, dimana banyak faktor yang mempengaruhinya,
seperti kualitas air, ukuran, umur, jenis kelamin, ketersediaan
organisme-organisme makanan, serta jumlah ikan yang memanfaatkan sumber makanan
yang sama. Menurut (Effendie 1997 dalam
Roza 2003) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dibagi menjadi dua bagian besar
yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dari ikan, seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi
pertumbuhan antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen
terlarut, dan faktor kualitas air. Faktor ketersedian makanan sangat berperan
dalam proses pertumbuhan. Pertama ikan
memanfaatkan makanan untuk memelihara tubuh dan menggantikan sel-sel tubuh yang
rusak, kemudian kelebihan makanan yang tersisa baru dimanfaatkan untuk
pertumbuhan.
Pola pertumbuhan terdiri atas dua macam,
yaitu pola pertumbuhan isometrik dan allometris. Pertumbuhan isometris adalah perubahan terus
menerus secara proporsional antara panjang dan berat dalam tubuh ikan. Pertumbuhan allometrik adalah perubahan yang
tidak seimbang antara panjang dan berat dan dapat bersifat sementara.
Ikan ikan kerapu macan
yang termasuk ikan berumur panjang ini, bisa mencapai umur 40 tahun dan
memiliki panjang maksimum yang pernah diketahui berukuran sepanjang 1200 mm. Ikan kerapu macan berganti kelamin menjadi
jantan ketika mencapai ukuran tertentu (Hermaphrodit protogyni). Berdasarkan dari penelitian Pulau Palau,
diketahui spesies betina dewasa berkisar pada ukuran 420 mm, dan jantan dewasa
berkisar pada ukuran 698 mm (Johannes et al. 1999 dalam Naisirah 2012). Adapun umur dan ukuran dugaan ikan ini
benar-benar dewasa, yang mana 50% betina aktif secara seksual selama masa
bertelur adalah ukuran panjang total 570 mm.
2.6 Penyakit
Menurut Kordi (2002 dalam Karyono, 2011), penyakit yang sering menyerang ikan kerapu
ada dua macam yaitu penyakit infeksi adalah penyakit yang dapat mengingfeksi
ikan kerapu yaitu berupa jamur, bakteri maupun virus. Sedangkan yang ke dua yaitu penyakit non
infeksi adalah penyakit pada ikan kerapu yang disebabkan oleh tidak sesuaiannya
media pemeliharaan ikan kerapu yang ada di tambak dengan kondisi aslinya di
alam sehingga menyebakan ikan kerapu tersebut dapat terserang penyakit infeksi
terutama bakteri.
2.6.1 Iridovirus
Iridovirus
adalah virus hewan yang menginfeksi invertebrata dan vertebrata poikilotermik,
seperti ikan, insekta, amfibi, dan reptil. Iridovirus
merupakan virus DNA untai ganda berbentuk simetri ikosahedral, tidak semuanya
beramplop, dan mempunyai diameter 120-300 (Tidona et al., 1998 dalam Roza,
D., Jhonny, F dan Zafran). Virion
iridovirus terdiri dari tiga domain konsentris yaitu protein capsid di
bagian luar, membran lipid yang mengandung subunit protein di bagian tengah,
dan core yang tersusun dari kompleks DNA-protein. Virus ini memiliki
25-75 protein struktural dengan kisaran berat molekul 12.000-150.000 kDa. Secara umum protein capsid iridovirus
berukuran sekitar 50 kDa dan merupakan komponen struktural utama yang jumlahnya
mencapai 45% dari protein virion total. Ukuran genom
iridovirus bervariasi antara 105-212 kbp).
Iridovirus
mempunyai strategi replikasi yang melibatkan stadium nuklear dan sitoplasmik,
menghasilkan genom komplit dengan duplikasi beberapa gen di ujungnya (terminal
redundancy) dan ujung tersebut berbeda diantara partikel virus yang
dihasilkan (cyclic permutation). Gen penyandi protein capsid dari
beberapa iridovirus vertebrata dan invertebrata telah disekuensing dan coding
region nya mempunyai banyak kemiripan.
Penyebaran Iridovirus
Infeksi iridovirus diketahui sebagai salah satu penyakit
yang mematikan pada budidaya jaring apung ikan laut seperi ikan kakap merah di
Jepang dan ikan kerapu di Asia Tenggara.
Kerugian ekonomi yang diakibatkan penyakit ini bernilai tinggi, karena
virus ini menginfeksi pada stadia fingerling
sampai ukuran siapa jual. Di Indonesia
penyakit ini pertama kali di temukan pada ikan kerapu lumpur di Sumatra Utara
pada keramba jaring tancap padatahun 2000 dengan kematian mencapai lebih dari
80%. Akhir akhir ini di Balai Penelitian
Gondol, virus tersebut di temukan pada ikan kerapu lumpur (Epinephelus coioides) dan kerapu duskytail (E. bleekery).
Gejala Klinis
Ikan
yang terinfeksi iridovirus nampak lemah, nafsu makan menurun, mengalami anemia
yang berat, bercak merah (ptechiae) pada insang, pembengkakan limpa, dan
ginjal. Menurut (Tidona
et al. 1998 dalam Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa.),
kerapu malabar yang terinfeksi iridovirus menunjukkan gejala warna insang dan
tubuh pucat, hilangnya keseimbangan sehingga ikan diam di dasar jaring apung
dan biasanya akan mati dalam waktu satu hari setelah gejala muncul.
Ikan yang terineksi terlihat berenang lemah di permukaan
air atau berenag di dasar bak. Ikan
terlihat berwarna lebih gelap dengan ditandai anemia yang berat dilihat dari
warna insangnya dan dengan hematokrit kendungan sel darah merahnya kurang dari
25%. Hati terlihat berwarna gelap yang
disebabkan pendarahan yang sangat berat atau pembengkakan yang disertai dengan
warna. Pada limfa juga terlihat pembengkakan dilihat adanya sel sel yang
membesar. Secara histoptologi pembesaran
sel ini dapat dilihat pada organ limfa, ginjal dan hati. Pembesaran monosit yang mengandung sel asing
juga ditemukan pada limfa, ginjal dan hati.
Penyebab Grouper
Sleeping Disease Iridovirus (GSDIV)
Disebabkan oleh suatu virus DNA sitoplasmik dengan bentuk icosahedral, yang
digolongkan kelompok Iridoviridae. DNA
virus ini dapat diperbanyak dengan PCR menggunakan sepasang primer yang
digunakan untuk infeksi iridovirus pada kakap merah (RSIV). Cara ini sangat cepat untuk mendiagnosa
adanya infeksi iridovirus. Hasil
percobaan infeksi buatan, menunjukkan bahwa virus ini sangat patogen terhadap
ikan kerapu bebek. (Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa. 2001)
Upaya Pencagahan
Yang penting
disini adalah mengurangi stres selama pengankutan dan pemeliharaan ikan dengan
kepadatan rendah. Di Jepang, penggunaan
vaksin sudah terbukti ke efektipannya dalam mengurangi kematian yang disebabkan
oleh iridovirus.
2.6.2 Bakteri
Penyakit
yang disebabkan oleh bakteri merupakan penyakit yang paling umum dijumpai pada
usaha budidaya ikan laut. Bakteri merupakan jasad renik yang kira-kira
duapuluh kali lebih kecil dari sel-sel jamur, protozoa atau sel daging ikan.
Biasa terdapat di udara, dalam tanah maupun dalam air dan benda padat lainnya.
Sebagian besar bakteri sebenarnya tidak menyebabkan penyakit. Namun bakteri mempunyai kemampuan memperbanyak diri sangat cepat, sehingga apabila
bakteri tersebut berada dalam bagian
tubuh hewan. (Hafifah, YN et,al.
2012)
Siklus Hidup Bakteri
Gambar 2 Siklus hidup bakteri
Anatomi dan morfologi bakteri dapat dilihat pada Gambar 3.
Bakteri bermacam-macam
jenisnya, yang menyerang manusia, berbeda dengan jenis yang
menyerang ikan dan tumbuh-tumbuhan. Tetapi ada pula jenis-jenis yang dapat
menyerang manusia dan hewan sekaligus. Ikan yang terserang oleh bakteri
dapat memperlihatkan gejala yang berbeda-beda. Jika
bakterinya menyerang kerusakan-kerusakan pada kulit yang terlihat seperti kena
api (luka bakar), seperti kudis/borok yang membusuk. (Hafifah, YN et,al. 2012)
Infeksi
bakteri biasanya timbul apabila ikan menderita stres. Kematian banyak
terjadi pada ikan yang menderita stres karena serangan bakteri yang menyebabkan
infeksi. Penyakit bakteri merupakan jenis yang
terbanyak didapati pada usaha budidaya ikan di laut. (YC. Chong. 1986 dalam Hafifah, YN et,al. 2012) menyebutkan
bahwa di perairan Siangapura terdapat 3 kelompok utama penyakit yang disebabkan
oleh bakteri, yaitu : pembusukan sirip/ekor, Vibriosis dan Streptococcosis.
Pembusukan
sirip/ekor (Bakteri Fin Rot)
Bakteri ini
biasanya menyerang sirip-sirip, terutama sirip ekor dan dapat mengakibatkan luka
dan pengelupasan kulit. Ikan yang terserang penyakit ini akan menalami
luka/kerusakan pada bagian tepi dan sirip-siripnya, termasuk sirip ekor dan
akan terkikis secara tidak teratur. Bahkan tidak jarang terjadi sirip yang
terserang akan tinggal bagian pengkalnya saja. Jika diamati
pada bagian yang terkena penyakit atau bagian yang luka hanya sedikit terdapat
protozoa, tetapi diketemukan banyak sekali populasi bakteri yang terdiri dari
bakteri Mycobacter sp.
Vibrio sp,
jenis-jenis Pseudomonas dan Cocci gram positif. Diperkirakan bahwa kerusakan yang terjadi tersebut diakibatkan
oleh serangan bakteri dengan populasi yang sangat padat. Bakteri ini
mudah menular lewat luka-luka ikan yang lain akibat sentuhan ekor yang sakit. Bakteri yang
paling dominan adalah Vibro sp karena
mempunyai kemampuan yang baik untuk hidup di air laut dan pertumbuhannya untuk
membentuk koloni lebih cepat dibandingkan dengan bakteri yang lain. (Direktorat Bina Produksi, Direktorat Jenderal
Perikanan dan Departemen Pertanian, Jakarta, 1996)
Pada
dasarnya penyakit ini tidak begitu berbahaya, tetapi yang menjadikan bahaya
justru infeksi sekunder jenis bakteri lain yang dapat memperparah penyakit
tersebut dan menyebabkan kematian ikan.
Pencegahan
dan pengobatan Pencegahan dapat dilakukan dengan jalan perendaman ikan yang
sakit ke dalam bak
air dengan menggunakan :
§
Nitrofurozone 15 ppm, selama 3 - 4
jam.
§ Suplhonamide
50 ppm, selama 3 - 4 jam.
§ Neomycin
sulphate 50 ppm, selama 1 - 2 jam.
§ Chloramphenicol
50 ppm, selama 1 - 2 jam.
§ Acriflavine
100 ppm, selama 1 menit.
Sesudah
pengobatan, tempatkan ikan ke dalam kurungan yang bersih dengan kepadatan yang
rendah dan aliran air yang baik, atau pada bak dengan penambahan aerasi
secukupnya.
Vibriosis
Vibriosis
merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibrio sp. Bakteri Vibrio sp termasuk kelompok bakteri yang
heterogen dan gram negatif. Ada 2 bakteri penting yang diketahui menyerang ikan
laut yaitu : V. alginolyticus dan V.
parahaemollyticus. Vibriosis merupakan penyakit sekunder, artinya penyakit
ini muncul setelah adanya serangan penyakit yang lain misalnya protozoa atau
penyakit lainnya.
Dari
percobaan yang dilakukan terhadap bakteri yang diisolasikan dari ikan kerapu
dan kakap putih yang sakit, ternyata bakteri ini tidak mampu membuat ikan
menjadi sakit vibriosis setelah dilakukan penyuntikan dengan bakteri tersebut. (Direktorat Bina Produksi, Direktorat Jenderal
Perikanan dan Departemen Pertanian, Jakarta, 1996)
Terkecuali
apabila dosisnya tinggi. Ikan kerapu yang terkena Vibriosisi akaibat suntikan
bakteri tersebut, akan mengalami perubahan warna kulit menjadi lebih gelap dan
daerah bekas suntikan akan menjadi borok. Selanjutnya
akan terjadi pendarahan pada bagian peritonial dan ginjalnya akan rusak. Pengamatan di
alapangan juga menunjukkan gejala ikan kurang nafsu makan, busuk sirip dan
akumulasi cairan di bagian abdomen. Beberapa pengobatan dengan
antibiotik dapat dilakukan antara lain :
§ Menggunakan
Oxytetracycline sebanyak 0,5 garam per kg makanan ikan selama 7 hari.
§ Menggunakan
Sulphonamides 0,5 gram per kg makanan ikan selama 7 hari.
§ Chloromphenicol
sebanyak 0,2 gram per kg berat makanan ikan selama 4 hari.
Apabila ikan tak mau makan, cobalah pengobatan dengan perendaman sbb :
Apabila ikan tak mau makan, cobalah pengobatan dengan perendaman sbb :
§ Nitrofurozon
15 ppm, selama lebih kurang 4 jam.
§ Sulphonamides
50 ppm, selama lebih kurang 4 jam
2.7 Vaksinasi
Cara pengendalian penyakit
yang paling murah dan efisien adalah dengan cara pencegahan. Mencegah timbulnya penyakit dapat dengan,
pengelolaan lingkungan, penggunaan pakan yang tepat mutu, tepat jumlah dan
tepat pemberiannya. Salah satu cara
pencegahan yang sekarang sudah mulai dilaksanakan adalah dengan cara
menimbulkan kekebalan. Kekebalan pada ikan dapat ditimbulkan baik dengan
menggunakan vaksin maupun dengan menggunakan imunostimulator lain. Dengan hanya
1 atau dua kali pemberian vaksin biasanya daya tahan tubuh/kekebalan akan
bertahan sampai akhir masa pemeliharaan ikan. (Supriyadi, H., Taukhiddan G.
Moekti. 1997)
Vaksinasi pada perikanan
budidaya telah terbukti memberi kontribusi yang sangat signifikan terhadap
peningkatan produksi perikanan budidaya, terutama industri salmon dan trout di
Eropa. Saat ini, sedikitnya ada 10 jenis
vaksin telah dipasarkan secara umum dan diaplikasikan oleh pembudidaya ikan di
Amerika, Eropa dan Jepang. Keberhasilan program vaksinasi tersebut cukup
menggembirakan, hal itu terlihat dari:
·
Menurunnya tingkat mortalitas ikan budidaya
akibat infeksi patogen potensial,
·
Menurunnya penggunaan antibiotik pada budidaya
ikan, dan
·
Menurunnya daya resistensi beberapa jenis
patogen terhadap antibiotik.
Masalah yang ada pada ikan ialah bahwa sistem kekebalan pada
ikan masih sangat sederhana, sehingga respon kebal yang timbul akibat
rangsangan imunostimulator biasanya tidak optimal, serta level antibodi yang
dihasilkannya juga masih rendah. Oleh karena itu sebelum vaksinasi pada
ikan dilakukan maka kita harus memahami persyaratan-persyaratan kusus
berkaitan dengan ikan yang akan divaksinasi.
2.7.1
Persyaratan Vaksinasi pada Ikan
Sebagaimana mahluk
lain ikan juga memiliki sistem kekebalan walaupun sistem kekebalan pada ikan
masih sangat sederhana. Ikan memiliki 2 (dua) jenis kekebalan yaitu kekebalan
perantara sel (Cell mediated immunity)atau
sering dikenal dengan kekebalan non-spesifik dan kekebalan humoral (Humoral immunity) atau kekebalan
spesifik. Namun demikian kekebalan pada
ikan masih didominasi oleh kekebalan seluler. Kekebalan pada ikan bisa dirangsang pembentukannya
dengan cara vaksinasi atau dengan pemberian imunostimulator lain. (Supriyadi,
H., Taukhiddan G. Moekti. 1997)
Proses induksi kekebalan
umumnya mulai dapat terdeteksi setelah 2 – 3 minggu dari saat pemberian vaksin.
Idealnya, vaksinasi sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi bakteri A.
hydrophila dilakukan lebih dari satu kali. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
antibodi yang diperoleh pada vaksinasi pertama (priming) relatif
rendah, karena pada tahap tersebut lebih banyak sebagai proses pengenalan atau
lebih umum disebut proses memorizing terhadap antigen. Proses peluruhan antibodi yang telah terbentuk
dari hasil priming juga relatif cepat, yaitu sekitar 1,5 – 2 bulan. Untuk
meningkatkan kadar antibodi dalam tubuh ikan hingga mencapai level protektif,
maka perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) yang dapat diberikan
1,5 bulan kemudian melalui pakan atau melalui perendaman. Hasil booster
akan meningkatkan level antibodi yang sangat signifikan, dan biasanya sudah
cukup untuk memberi bekal kekebalan tubuh hingga akhir masa pemeliharaan (6 –
12 bulan).
Keberhasilan program
vaksinasi tidak hanya ditentukan oleh keampuhan dari vaksin yang digunakan,
tetapi juga sangat ditentukan oleh bagaimana dan kapan sebaiknya vaksin itu
diberikan. Oleh karena itu, ada beberapa persyaratan yang sebaiknya
diperhatikan sebelum melakukan vaksinasi terhadap ikan.
·
Sebaiknya ikan telah berumur 3 minggu atau
lebih, karena pada umur kurang dari 3 minggu, organ-organ yang berperan dalam
sistem pembentukan antibodi belum sempurna. Organ-organ yang terlibat dalam sistem
kekebalan tubuh ikan meliputi “reticulo endothelial” (ginjal bagian
depan, thymus, limfa, dan hati), limfosit, plasmosit dan fraksi serum protein
tertentu.
·
Status kesehatan ikan harus dalam kondisi
optimal, ikan yang sedang sakit misalnya karena terinfeksi patogen parasitik
sebaiknya jangan divaksinasi terlebih dahulu sebelum parasit tersebut
diberantas.
·
Suhu air relatif hangat (diatas 26o C).
Berdsarkan pengalaman, vaksinasi dan pemeliharaan ikan pada suhu air ≥ 28o
C, respon antibodi yang terbentuk akan lebih cepat dibandingkan dengan
suhu air yang lebih rendah.
·
Air yang digunakan untuk melakukan vaksinasi dan
pemeliharaan ikan harus bebas dari unsur polutan. Air yang mengandung unsur polutan akan
menghambat proses pembentukan antibodi (immunosuppressif) dalam tubuh
ikan.
2.7.2 Tekhnik Aplikasi Vaksin Pada Ikan
Aplikasi
Vaksin Melalui Perendaman.
Untuk ikan yang ukurannya kecil dalam jumlah banyak biasanya
aplikasi vaksin akan lebih efisien dilakukan dengan melalui perendaman. Perendaman biasanya dilakukan dalam suatu
wadah tertentu dengan mengguinakan volume air tertentu yang kemudian kedalam
nya dicampurkan sejumlah vaksin sehingga mencapai dosis yang disarankan.
Kemudian ikan yang akan divaksinasi dimasukkan kedalam larutan tersebut. Jangka
waktu perendaman ikan dalam larutan vaksin biasanya sekitar 15 – 30 menit. Selama
proses vaksinasi sebaiknya dilengkapi dengan aerasi, dan kepadatan ikan tidak
terlalu tinggi (antara 100 – 200 gram/L air).
Aplikasi
Vaksin Melalui Pakan
Teknik ini lebih sesuai untuk ikan yang sudah dipelihara
dalam kolam pemeliharaan ataupun sebagai upaya vaksinasi ulang (booster).
Dosis vaksin yang digunakan untuk teknik ini sesuai dengan dosis yang
direkomendasikan (sebagai contoh untuk vaksin HydroVac adalah 3-5 ml/kg bobot
tubuh ikan) dan pemberian vaksin melalui pakan sebaiknya dilakukan selama 5–7
hari berturut-turut. (Supriyadi, H., Taukhiddan G. Moekti. 1997)
Alpikasi Vaksin Melalui Suntikan.
Cara pemberian vaksin
dengan melalui suntikan lebih tepat untuk ikan-ikan yang berukuran relatif
besar, jumlahnya tidak terlalu banyak dan berharga, misalnya induk ikan. Namun
demikian mengenai jumlah yang banyak pada saat ini tidak merupakan masalah yang
menjadi factor pembatas karena sudah ada alat vaksinasi automatic. Keuntungan
pemberian vaksin melalui penyuntikan adalah 100% vaksin dapat masuk ke dalam
tubuh ikan.
Ada dua cara penyuntikan
yang biasa dilakukan, yaitu dimasukkan ke rongga perut (intra peritoneal)
dan dimasukkan ke otot/daging (intra muscular). Penyuntikan secara IP
biasanya dilakukan di bagian perut, diantara kedua sirip perut atau sedikit di
depan anus, dengan sudut kemiringan jarum suntik (needle) kira-kira 30o.
Penyuntikan secara IM biasanya dilakukan di bagian punggung, pada ikan yang
bersisik biasanya dilakukan di sela-sela sisik ke 3 – 5 dari kepala, dengan
sudut kemiringan jarum suntik kira-kira 30 – 40o. Namun mengingat bahwa sifat kulit ikan ini
tidak dapat secara cepat menutup kembali setelah ditusuk dengan jarum suntik
(daya elastisnya kurang) maka lebih disarankan penyuntikan dengan vaksin
dilakukan secara intraperitonial.
Keberhasilan vaksinasi
bisa dievaluasi dengan meningkatnya sintasan (SR) ikan yang divaksin
dibandingkan dengan ikan yang tidak divaksin. Efektifitas vaksin juga
dilambangkan dengan harga Relative Percentage Survival (RPS) ikan yang divaksin
lebih tinggi dari 60%.
2.8 Sistem Kekebalan Tubuh Ikan
Sistem
kekebalan pada ikan terbagi atas sistem pertahanan non spesifik dan spesifik. Proses
pertahanan tubuh yang sederhana ditampilkan oleh organisme sebagai bentuk
pertahanan dengan mengandalkan struktur fisik, kerja mekanik alat pertahanan
dan pengeluaran substansi kimiawi yang sangat sederhana. Pada ikan,
fagositosis adalah bentuk respon pertahan tubuh yang paling sederhana, namun
sangat penting, sebagai wujud sistem petahanan non spesifik. Ketika ikan mengalami infeksi
mikroba patogen, mekanisme kekebalan non-spesifik akan bekerja untuk
menghentikan proses infeksi tersebut. Jika mekanisme tersebut tidak bekerja efektif,
maka infeksi akan berlanjut dan mampu menimbulkan gejala klinis penyakit. Pada saat
itu respon kekebalan spesifik akan mulai terjadi dan jika ikan mampu
bertahan hidup maka akan terbentuk antibodi spesifik terhadap agen infeksi pada
level titer protektif dan terbentuk pula sel-sel memori. Jika terjadi
reinfeksi oleh agen penyakit sejenis, maka ikan tersebut akan kebal, mampu
menahan infeksi karena respon kekebalan sekunder akan terjadi, sebagai efek
booster. (Supriyadi, H., Taukhiddan G. Moekti. 1997).
Mekanisme
kekebalan non-spesifik juga dikenal sebagai kekebalan alamiah (innate immunity), merupakan mekanisme
pertahanan inang yang responnya tidak bergantung pada frekuensi kontak terhadap
antigen tertentu. Berbeda dengan respon kekebalan spesifik (humoral mediated immunity) maupun (cellular mediated immunity) yang
responnya sangat tergantung pada frekuensi kontak induk dengan antigen tertentu
sebelumnya (sering pula disebut adaptive
immunity). Meskipun demikian, beberapa fungsi dari sistem
kekebalan non-spesifik juga terlibat dalam sistem kekebalan spesifik. Sistem pertahanan
pada ikan akan terbentuk sempurna saat ikan telah dewasa. Pada benih ikan
sistem kekebalan tubuh sudah terbentuk tetapi belum berfungsi optimal sehingga
kurang efisien dalam menahan infeksi
patogen. Pada tahap ini, ikan rentan terhadap penyakit. Sistem
pertahanan non spesifik merupakan pertahanan tubuh yang terdepan ketika
menghadapi paparan patogen karena memberikan respon langsung terhadap antigen. Sistem
pertahanan tubuh non spesifik terdiri dari kulit dan selaput mukosa. Sistem
pertahanan tubuh spesifik adalah sistem kekebalan tubuh khusus yang membuat
limfosit peka untuk segera menyerang patogen tertentu.
Ikan
bertulang belakang secara umum memiliki sistem pertahanan berupa sel-T, sel-B
dan immunoglobulin. Sedangkan ikan bertulang rawan mempunyai imunoglobulin,
sel-T, sel plasma dan IgM. Amphibia memiliki sel-T, IgG, IgM dan nodulus
limfatikus, sedangkan reptilia memiliki sel-T, IgG, dan IgM.
2.8.1 Sistem
kekebalan non-spesifik
Kekebalan
non-spesifik adalah suatu sistem pertahanan tubuh yang berfungsi untuk melawan
segala jenis patogen yang menyerang dan bersifat alami. Kekebalan non-spesifik
merupakan imunitas bawaan (innate immunity),yaitu respon perlawanan
terhadap zat asing yang dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah
terpapar oleh zat tersebut. (Supriyadi,
H., Taukhiddan G. Moekti. 1997)
Sistem
kekebalan non-spesifik mencakup pertahanan pertama dan pertahanan kedua. Pertahanan
pertama yaitu pertahanan fisik meliputi, sisik, kulit, dan mukus. Mukus
memiliki kemampuan menghambat kolonisasi mikroorganisma pada kulit, insang dan
mukosa. Mukus ikan mengandung imunoglobulin (IgM) alami dan bukan sebagai
respon dari pemaparan antigen. Imunoglobulin merupakan antibodi yang dapat
menghancurkan patogen yang menyerang tubuh. Adapun sisik
dan kulit berperan dalam melindungi ikan dari kemungkinan luka dan sangat
penting peranannya dalam mengendalikan osmolaritas tubuh. Kerusakan
pada sisik atau kulit dapat mempermudah patogen menginfeksi inang.
Sel-sel fagosit menghancurkan antigen
melalui tiga tahap, yaitu pelekatan, fagosit dan pencernaan. Proses
fagosit sendiri dapat terjadi apabila sel-sel fagosit berada dalam jarak dekat
dengan antigen, atau antigen tersebut harus melekat pada permukaan sel fagosit. Sel makrofag
dan netrofil juga masih memiliki kemampuan untuk melakukan mekanisme pertahanan
non-spesifik melalui proses chemotaksis
dan pinocytosis. Chemotaksis adalah
proses dimana sel fagosit dipancing oleh berbagai jenis molekul untuk melakukan
migrasi ke lokasi terjadinya inflamasi, kerusakan jaringan atau reaksi
antigen-antibodi (immune reactions).
Fenomena ini ditandai oleh proses pembukaan membran sel membentuk lubang
(vakuola) kecil melalui proses endocytosis.
2.8.2 Sistem
Kekebalan Spesifik
Ada beberapa
substansi sel dan organ yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh suatu
organisme. Elemen-elemen tersebut sering
disebut dengan sistem kekebalan (immune
system). Organ yang termasuk dalam sistem
kekebalan adalah sistem “Reticulo Endothelial”, limfosit, plasmosit, dan fraksi
serum protein tertentu.
Sel yang berperan dalam sistem
tanggap kebal terdiri dari dua jenis sel limfosit yaitu limfosit-B dan
limfosit-T. Aktivitas yang pasti dari sel-T pada ikan belum banyak diketahui
tapi yang jelas peran utamanya adalah dalam sitem kekebalan seluler dan
biasanya disebut dengan imun perantara sel (cell mediated immunity). Sel-B
berperan dalam produksi imunoglobulin melalui rangsangan antigen tertentu dan
imunoglobulin diproduksi oleh sel tertentu pada limpa dan mungkin juga pada organ
hati. (Supriyadi,
H., Taukhiddan G. Moekti. 1997).
III METODOLOGI
3.1 Waktu Dan Tempat
Kegiatan praktek kerja
pengalaman mahasiswa (PKPM)
ini dilaksanakan selama
Tanggal 24 Februari – 19 Mei 2014 di Laboratorium
Patologi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) yang
terletak di Dusun Gondol, Desa Penyambangan, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng,
Provinsi Bali
3.2 Metode Pengumpulan Data
Laporan ini
ditulis
berdasarkan hasil kegiatan PKPM meliputi wawancara dan diskusi dengan teknisi dan peneliti
BBPPBL Gondol, Bali serta studi pustaka yang berkaitan dengan judul kegiatan ini.
3.3 Alat dan Bahan
Alat
dan bahan yang digunakan selama mengikuti kegiatan Praktek Pengalaman kerja
Mahasiswa di Labolatorium Patololgi BBPPBL. Gondol disajikan pada Tabel
1 dan 2.
Tabel 1 Alat yang digunakan di kolam budidaya BBPPBL Gondol
No
|
Alat
|
Kegunaan
|
Keterangan
|
1
|
Bak Beton
|
Wadah Pemeliharaan
|
150 X 50
x
80 cm
|
2
|
Bak Fiber
|
Wadah Pemeliharaan
|
Vol. 100 liter
|
3
|
Timbangan
|
Menimbang
|
|
4
|
Mistar
|
Mengukur
|
Panjang 20 cm
|
5
|
Sifon
|
Menyipon
|
|
6
|
Ember
|
Penampungan Ikan Sementara
|
Vol. 15 liter
|
7
|
Spuit
|
Ijeksi Vaksin dan Sampling Darah
|
Vol. 3 ml
|
8
|
Basket
|
Penampungan Ikan
|
|
9
|
Blower
|
Aerasi
|
|
Tabel
2 Bahan yang
digunakan di laboratorium Patologi BBPPBL
No
|
Bahan
|
Fungsi
|
Keterangan
|
1
|
Ikan Kerapu Macan
|
Organisme Budidaya
|
|
2
|
Vaksin (Polyvalent Dan GSDIV)
|
Imunostimulan
|
|
3
|
Pakan Pelet
|
Pakan Ikan
|
Pakan Tenggelam
|
4
|
Antikoagulan
|
Mencegah Penggumpalan Darah
|
|
3.4 Prosedur Kerja
3.4.1 Pembuatan Vaksin Bakteri Polivalen
Vaksin bakteri Vibrio polivalen
dibuat dengan mencampurkan 3 spesies Vibrio (Vibrio harveyi, Vibrio alginolyticus dan Vibrio
parahaemolyticus). Masing-masing spesies dikultur secara massal pada
media TSA + 2% NaCl selama 48 jam pada suhu 27o C. Bakteri tersebut dipanen dan dimatikan dengan
formalin 0,01%, selanjutnya dicuci sebanyak 3 kali melalui sentrifugasi selama
15 menit dengan kecepatan 3.200 rpm untuk menghilangkan formalin. Vaksin anti
bakteri Vibrio polivalen dibuat dengan mencampurkan ketiga spesies bakteri
tersebut dengan perbandingan 1:1:1.
3.4.2
Pengemasan vaksin bakteri dalam bentuk cair
Masing-masing vaksin yang telah dihasilkan dimasukkan ke
dalam botol kaca volume 50 ml dan 100 ml. Setelah pengisian vaksin selesai,
selanjutnya dipasang tutup botol dari bahan karet dan penyegelan dengan segel
cair. Segel cair ini segera membeku
begitu kontak dengan udara. Vaksin dalam kemasan botol disimpan dalam lemari
pendingin dengan suhu 4 – 100 C sampai digunakan.
3.4.3 Perbanyakan
bakteri pembawa protein rekombinan GSDIV
Sel kompeten yang telah positif (analisa dengan PCR) membawa gen target
GSDIV, dikultur secara massal dalam media LB broth. Hasil kultur diukur kepadatan bakterinya
dengan spectrophotometer. Bakteri tersebut diinduksi dengan IPTG dan dianalisa
SDS-page. Apabila mengandung protein
rekombinan GSDIV sesuai target, maka bakteri tersebut diinaktifkan dengan
0,01-0,05% formalin, dicuci dengan NaCl/PBS.
Vaksin rekombinan tersebut disimpan pada suhu dingin.
3.4.4
Aplikasi kombinasi vaksin bakteri polivalen dan GSDIV
Benih ikan kerapu macan ukuran 7-8 cm sebanyak 900 ekor divaksinasi dengan
kombinasi vaksin bakteri polivalen dan vaksin GSDIV. Vaksin bakteri polivalen diaplikasikan melalui
perendaman selama 1 jam (Gambar 4) dengan konsentrasi 1 ml vaksin/1 l air laut.
Sedangkan vaksin GSDIV diaplikasikan melalui penyuntikan dengan konsentrasi 0,1
ml/ekor (Gambar 5). Kelompok ikan
kontrol tanpa perlakuan vaksinasi. Jarak
antara vaksinasi bakteri polivalen dengan vaksinasi GSDIV adalah 1 minggu. Sedangkan aplikasi vaksin melalui pakan
dengan konsentrasi 5 ml/kg pakan, diberikan dua kali sehari selama 5 hari dan
selanjutnya dilakukan pergantian pakan dengan pakan biasa. Penelitian dilakukan dalam rancangan acak
lengkap dengan 3 ulangan. Ikan selanjutnya dipelihara dalam sembilan buah bak beton dengan ukuran 150
X 50
x 80
cm. Bak
diisi 600 l air laut yang telah disaring dengan saringan pasir,
dilengkapi dengan sistem air mengalir dan diaerasi. Booster diberikan 2 minggu pasca vaksinasi
awal. Vaksinasi ulang diberikan lagi
pada hari ke-30 dan hari ke-60. Selama pemeliharaan ikan diberi pakan
pelet dua kali sehari, pada pagi dan sore hari. Pembersihan bak dilakukan setiap pagi dengan
penyiponan.
Gambar 4 perendaman dengan vaksin
Gambar 5 injeksi vaksin
3.4.5
Sampling
·
Dua buah ember disiapkan kemudian disi dengan
air
·
Kemudian ikan
diambil sebanyak 10 ekor tiap bak untuk disampling dan kemudian dipindahkan ke
ember dengan menggunakan skop net
·
Satu persatu ikan
diukur panjang dan ditimbang beratnya kemudian ikan yang telah diukur di simpan
pada ember yang satunya agar tidak tercampur
dengan ikan yang belum diukur
·
Setelah selesai
sampel ikan tersebut dikembalikan pada pemeliharaan
3.4.6
Sampling Darah
·
Ikan diambil
sebanyak 5 ekor tiap bak dan di pindahkan pada ember
·
Kemudian sampel
darah ikan diambil pada vena anterior sebanayak 1ml dengan menggunakan spuit 3
ml yang telah ditambahkan antikoagulan untuk mencegah terjadinya penggumpalan
pada darah
·
Setelah selesai
ikan dikembalikan pada bak pemeliharaan
Pengambilan
sampel darah pada ika dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Sampling darah
3.5 Parameter Yang Diamati
3.5.1 Sintasan (SR
Sintasan
(SR) adalah persentase jumlah benih ikan kerapu yang masih
hidup sampai akhir pemeliharaa. Perhitungan
kelangsungan hidup dirumuskan oleh Mudjiman, 2004 dalam Sari 2006.
3.5.2
Uji
Titer Darah
Uji
titer adalah prosedur yang disusun dalam seri pengenceran bertingkat dari semua
yang diuji. Setiap pengenceran diuji aktivitasnya. Perbandingan
terbalik pengenceran tertinggi yang member reaksi positif disebut titer dan merupakan
ukuran jumlah antibodi
dalam serum.
3.6 Analisis Data
3.6.1
Sintasan (SR)
Sintasan
(SR) adalah persentase jumlah benih ikan kerapu yang masih
hidup sampai akhir pemeliharaa. Perhitungan kelangsungan hidup dirumuskan oleh
Mudjiman, 2004 dalam Sari 2006.
Sebagai berikut:
SR = Nt x 100%
No
Keterangan SR =
Kelangsungan Hidup
Nt = Jumlah Ikan pada akhir pemeliharaan
No = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan
3.6.2
Uji Titer Antibodi
Uji
titer antibodi dilakukan dalam wadah “micro-well” dengan 96 sumur/lubang
berpedoman pada Tizard (1988) dan Roberson (1993). Serum darah ikan uji
diencerkan secara bertingkat sebagai berikut: Ke dalam sumur ke-1 dan ke-2
dimasukkan masing-masing 50 µl serum darah ikan. Ke dalam sumur ke-2
selanjutnya ditambahkan 50 µl PBS dan diaduk merata. Dari sumur ke-2
selanjutnya diambil 50 µl dan dimasukkan ke dalam sumur ke-3. Ke dalam sumur ke-3 selanjutnya ditambahkan 50 µl
PBS dan diaduk merata. Proses yang sama selanjutnya
dilakukan pada sumur ke-4 dan seterusnya. Ke dalam masing-masing sumur selanjutnya
dimasukkan 50 µl masing-masing antigen (bakteri dan virus GSDIV) secara terpisah. Campuran serum darah ikan dan antigen diaduk
kemudian digoyang dengan rotator plate
selama 1-3 menit dan didiamkan pada suhu kamar selama 4-6 jam. Aglutinasi atau penggumpalan
antigen oleh serum diamati secara mikroskopis. Pada tingkat pengenceran tertinggi dimana
masih terjadi aglutinasi dinyatakan sebagai nilai titer antibodi dari ikan uji. (Zafran,
et al 2014)
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sintasan (SR)
Sintasan dari tiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7
Gambar 7 Persentase sintasan ikan kerapu macan
dengan metode vaksinasi
Dari
hasil perhitungan kelangsungan hidup ikan kerapu macan yang dipelihara di laboratorium
Patologi BBPPBL seperti pada diagram di atas dapat jelskan bahwa pemberian
vaksin pada organisme yang dibudidayakan dapat meningkatkan resistensi terhadap
penyakit tertentu yaitu dengan tingginya nilai sintasan (survival
rate) jika dibandingkan dengan kontrol. Terjadinya
perbedaan sintasan yang nyata antara kelompok ikan yang divaksin dengan yang
tidak divaksin adalah salah satu hal yang dapat mengidentifikasikan bahwa pemberian vaksin pada ikan
dapat meningkatkan sintasan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kekebalan tubuh ikan yang divaksin terhadap penyakit lebih
tinggi dari ikan yang tidak divaksin
(kontrol).
Sintasan yang diperoleh seperti pada gambar sebelumnya (Gambar 7) adalah data yang
diolah dari hasil perhitungan jumlah ikan yang mati dari awal sampai akhir
pemeliharaan dapat dilihat pada tabel berikut:
Table 3 Jumlah ikan yang mati selama pemeliharaan
No
|
Perlakuan
|
Bak
|
Jumlah ikan
yag mati
|
1
|
Perendaman
60”
|
B1,B5,B9
|
41
ekor
|
2
|
Injeksi
IP
|
B2,B6,B10
|
57
ekor
|
3
|
Perendaman
+ Injeksi
|
B3,B7,B11
|
55
ekor
|
4
|
Kontrol
|
B4,B8,B12
|
91
ekor
|
Dalam
aplikasi kombinasi vaksin polivalen
dengan GSDIV dilakukan berbagi perlakuan pemberian vaksin. Sesuai
dengan diagram di atas vaksinasi dengan cara perendaman selama 60 menit
mendapatkan nilai SR yaitu 93.1%. Pada perlakuan vaksinasi dengan cara injeksi
mendaptkan nilai SR yaitu 90.5 % dan perlakuan dengan perendaman+injeksi
mendapatkan nilai SR yaitu 90.8 % sementara SR pada control yaitu 84.8 %.
Dari hasil perhitungan sintasan, terlihat bahwa
perlakuan vaksinasi dengan cara perendaman lebih efektif jika dibandingan
dengan metode vaksinasi hal ini karena tingginya nilai SR pada vaksinasi dengan
perendaman, namun menurut Slamet Haryanto (teknisi di Lab.Patologi) bahwa
efektifitas dari perlakuan vaksinasi tidak bisa hanya dengan melihat tinggi
atau rendahnya nilai SR, hal ini karena kematian yang terjadi bukan hanya
disebabkan oleh penyakit tapi juga di pengaruhi oleh kualitas air. Namun jika dibandingkan SR antara ikan yang
divaksinasi dengan yang tidak terdapat perbedaan nilai SR yang signifikan
seperti contohya pada vaksinasi dengan perendaman SR.nya yaitu 93.1% sedangkan
pada control (tanpa pemberian vaksin) mempunyai nilai SR yaitu 84.8 %. Hal ini
berarti bahwa pemberian vaksin dapat mengurangi kematian yang diakibatkan oleh
penyakit.
4.2.
Uji Titer
Table 4 uji titer
aplikasi Kombinasi vaksin
No
|
Perlakuan
|
Uji
Titer
|
Nilai titer
|
1
|
Perendaman
60”
|
Vibrio Harvey
|
1/16
|
Vibrio Alginoliticus
|
1/8
|
||
Photobacterium Leiognathi
|
1/16
|
||
2
|
Injeksi
IP
|
Virus
GSDIV
|
1/16
|
3
|
Perendaman
60” + Injeksi IP
|
Virus
GSDIV
|
1/8
|
Vibrio Harvey
|
1/8
|
||
Vibrio Alginolitycus
|
1/8
|
||
Vibrio Leiognathi
|
1/8
|
||
4
|
Kontrol
|
Virus GSDIV
|
1/2
|
Vibrio Polivalent
|
1/2
|
Hasil
pengukuran nilai titer antibody seperti yang terlihat pada table No. 2
menunjukkan bahwa ikan yeng divaksin mempunyai nilai titer antibodi mulai dari
1/8 – 1/16 dibandingkan dengan ikan kontrol
yang hanya mencapai 1/2 nilai titer antibodi. Pada metode vaksin yang berbeda
juga terjadi adanya perbedaan nilai titer antibodi, vaksinasi dengan cara
injeksi IP + Perendaman 60” mempunyai titer antibodi sedikit lebih rendah yaitu
rata-rata hanya 1/8 jika di bandingkan dengan cara injeksi dan perendaman yang
mencapai 1/16. Semakin tinggi nilai titer anti bodi ikan
artinya semakin tinggi daya tahan tubuh ikan terhadap penyakit.
Pengenceran tertinggi yang memberi reaksi positif disebut
titer dan merupakan ukuran jumlah antibodi dalam serum. Antibodi dinyatakan positif apabila terjadi
hemaglutinasi (Tizard, 1998 dalam Roza, 2009).
Reaksi hemaglutinasi positif yang terjadi diamati di bawah mikroskop
dengan memperhatikan aglutinasi yang terlihat seperti gelembung bening.
Identifikasi
keberhasilan vaksinasi yang dilakukan dapat dilihat dari meningkatnya kekebalan
tubuh ikan terhadap penyakit tertentu. Menurut
Des Rosa et, al. (2002).
Prinsip
dasar vaksin adalah memasukkan antingen ke dalam tubuh ikan yang sudah
dihilangkan patogenesisinya, untuk merangsang sel - sel limfosit sehingga menimbulkan ketahanan humoral (spsifik). Vaksinasi pada ikan terbukti efektif
meningkatkan kekebalan tubuh ikan terhadap penyakit hal ini dapat dibuktikan
pada tingginya sintasan pada ikan yang di vaksin yang dibandikan dengan ikan
yang tidak diberi vaksin serta tingginya nilai titer antibody pada ikan yang
divaksin.
Vaksinasi
mampu meningkatkan antibodi
karena ikan mempunyai daya lindung yang baik. Bahkan Rosa et al.(2006); Rosa dan Jhonny (2008) melaporkan bahwa bakteri vibrio juga dapat digunakan sebagai
imonostimulan yang efektif untuk
meningkatkan respon imun non-spesifik ikan kerapu bebek, C. altivelis terhadap inveksi VNN.
V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari
hasil kegiatan ini menunjukkan
bahwa vaksinasi pada ikan dapat meningkatkan ketahanan tubuh ikan tarhadap
penyakit tertentu hal ini dibuktikan dengan tingginya nilai titer antibodi yaitu 1/16 pada kelompok ikan yang divaksin sedangkan
pada kelompok ikan yang tidak divaksin nilai titer antibodinya hanya 1/2
dan sintasan yaitu 90.8 % pada kelompok ikan yang divaksin sementara
pada kelompok ikan yang tidak divaksin
(kontrol) yaitu 84.8 %.
5.2.
Saran
Dalam melakukan
budidaya sudah seharusnya menggunakan vaksinasi sebagi bentuk pencegahan
terhadap penyakit ikan yang menjadi salah satu kendala dalam melakukan budidaya
perikanan karena telah terbukti efektif untuk meningkatkan kekebalan tubuh ikan
terhadap penyakit serta meghindari
rendahnya sintasan pada ikan yang dibudidayakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Afrianto, E., Liviawati, E., (1993). Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan:
yogyakarta. Kanisius
Anonim, 2011. Teknik Budidaya Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Di Keramba Jaring Apung. http://rajakerapu.blogspot.com. Diakses tanggal 28 mei 2014.
Direktorat Bina Produksi, Direktorat Jenderal
Perikanan dan Departemen
Pertanian, Jakarta, 1996
Hafifah, YN.,et al. (2012). Laporan Praktikum Limologi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Padjajaran
Jhonny, F., (2014).Uji Aplikasi Vaksinn Bakteri Polivalen Melalui pakan
di hatchery. Balai Besar Penelitian dan
Pengembanagn Budidaya Laut, Gondol. Bali
Koesharyany, I., et,al.
(2001). Penyakit Ikan
Laut dan
Krustase di Indonesia
Naisirah. 2012. Manajemen
Kesehatan Ikan pada Pembesaran Ikan kerapu Cantang di Keramba Jaring Apung [Tugas Akhir]. Pangkep, Politeknik Pertanian Negeri
Pangkep
Rosa,
D., Jhonny, F., &Zafran( 2009 ). Pengembanga Vaksin
Bakteri Untuk Mengembangkan Imunitas ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) terhadap penyakit infeksi. Balai Besar
Penelitian dan Pengembanagn Budidaya Laut, Gondol. Bali
Supriyadi, H.; Taukhiddan G. Moekti. (1997). Sistim Kekebalan (Imunitas) pada Ikan
Zafran,
et,al (2014). Aplikasi kombinasi
vaksin bakteri polivalen dengan vaksin anti GSDIV. Balai Besar Penelitian
dan Pengembanagn Budidaya Laut, Gondol. Bali
Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa. 1998. Marine
Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases
Diagnosis (Ed. by K. Sugama, H.
Ikenoue and K. Hatai). 44 p. Gondol Research Station for Coastal Fisheries,
CRIFI and Japan International Cooperation Agency. Balai Besar
Penelitian dan Pengembanagn Budidaya Laut, Gondol. Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar