Jumat, 20 November 2015

APLIKASI KOMBINASI VAKSIN BAKTERI POLIVALEN DENGAN VAKSIN GROUPER SLEEPING DESEASE IRIDO VIRUS (GSDIV) UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT PADA IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

I  PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai sumber daya laut yang melimpah.Dengan panjang garis pantai 81.000 km. Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk pengembangan budidaya laut. Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal dan lestari merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan/petani ikan, memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan ekspor untuk menghasilkan devisa negara.
Salah satu komoditi perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan kerapuPermintaan terhadap ikan kerapu (Epinephelus spp.) yang tinggi mendorong para nelayan untuk melakukan penangkapan, sehingga mengakibatkan eksploitasi ikan ini sering dilakukan tanpa memperhatikan lingkungan yaitu dengan menggunakan bahan peledak atau potassium.
Budidaya yang saat ini telah banyak dilakukan oleh masyarakat tak lain adalah untuk pemenuhan permintaaan pasar yang semakin meningkat serta penyelamatan habitat ikan itu sendiri akibat exploitasi yang berlebihan.  Budidaya dalam subsektor perikanan belakangan ini telah berkembang dengan pesat dimana usaha untuk meningkatkan produksi telah mengarah kepada usaha budidaya secara intensif. 
Salah satu permasalah yang timbul pada budidaya ikan kerapu adalah terjadinya penyakit. Menurut Rosa et al (2002a,b; 2003) berdasarkan penyebabnya, penyakit digolongkan ke dalam penyakit infeksi (protozoa, cacing, bakteri dan virus) dan penyakit non infeksi (lingkungan, bahan beracun dan nutrisi)
Penyakit yang disebabkan oleh virus, adalah penyakit yang sangat berabahaya dalam budidaya ikan kerapu (Danayadol, 1999 dalam Roza et al., 2003).  Virus merupakan organisme sedarhana yang masih dapat lolos walaupun disaring dengan ultra filter yang bersifat obligat parasit dan menyerang serta memperbanyak diri pada inangnya. Virus dapat digolangkan menjadi virus RNA dan DNA.
Oleh karena penyakit yang disebabkan oleh virus merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam budidaya baik dalam pembenihan maupun pembesaran.  Maka dari itu penulis memilih judul aplikasi vaksin bakteri polivalen dengan vaksin grouper sleeping disease iridovirus (GSDIV) untuk pencegahan penyakit ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan penulisan tugas akhir ini yaitu untuk mengetahui cara pegendalian dan penanganan penyakit ikan kerapu macan di Labolatorium Patologi Balai Besar Penenlitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol, Bali.
Sedangkan kegunaannya yaitu dapat menambah wawasan kepada penuli serta menjadi bahan informasi ilmiah atau refrensi kepada masyarakat yang berkecimpung pada usaha budidaya ikan kerapu



II  TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Taksonomi Ikan Kerapu Macan
Klasifikasi ikan kerapu (Epinephelus fuscoguttatus) menurut Myers, et.al. (2005) dalam  Naisirah (2012), kerapu macan (E. fuscoguttatus) diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum               : Chordata,
Subfilum         : Vertebrata,
Klas                 : Osteichtyes,
Subklas            : Actinopterigi
Ordo                :  Percomorphi,
Subordo          :  Percoidea,
Famili              :  Serranidae
Subfamili         :  Epinephelinae
Genus              Epinephelus
Spesies            Fuscoguttatus
2.2  Morfologi
Kerapu macan mempunyai bentuk badan yang pipih memanjang dan agak membulat. Mulut lebar dan di dalamnya terdapat gigi kecil yang runcing. Direktorat Jendral Perikanan Depertemen Pertanian , menjelaskan bahwa rahan bawah dan atas dilengkapi dengan gigi yang berderet 2 baris lancip dan kuat. Kerapu macan mempunyai jari-jari sirip yang keras pada sirip punggung 11 buah, sirip dubur 3 buah, sirip dada 1 buah dan sirip perut 1 buah. Jari-jari sirip yang lemah pada sirip puggung terdapat 15-16 buah, sirip dubur 8 buah, sirip dada 17 buah dan sirip perut 5 buah
Kerapu macan memiliki warna seperti sawo matang dengan tubuh bagian verikal agak putih. Pada permukaan tubuh terdapat 4-6 pita vertical berwarna gelap serta terdapat noda berwarna merah seperti warna sawo (Gambar 1)
mata
ekor
Sirip punggung
 


Sirip dubur
Sirip perut
mulut
Gambar 1 Morfologi ikan kerapu macan
2.Makanan dan Cara Makan
Ikan kerapu macan merupakan hewan karnifora yang memansa ikan-ikan kecil, kepiting, dan udang-udangan, sedangkan larva merupakan memansa larva moluska. ikan kerapu macan bersifat karnifora dan cenderung menangkap/memangsayang aktif bergerak di dalam kolam air (Anonim, 2001), ikan kerapu macan juga bersifat kanibal.  Biasanya mulai terjadi saat larva kerapu berumur 30 hari, dimana pada saat itu larva cenderung berkumpul di suatu tempat dengan kepadatan tinggi
Ikan kerapu macan mencari makan hingga menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya dengan cara makannya dengan memakang satu persatu makanan yang diberikan sebelum makan tersebut sampai ke dasar.
2.4  Kualitas Air
2.4.1 Suhu
Suhu sangat berpengaruh  terhadap kehidupan dan pertumbuhan ikan. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu samapai batas tertentu yang dapat menekan kehidupan ikan dan bahkan dapat menyebabkan kematian.  Hal ini disebabkan  pengaruh langsung kelarutan gas – gas di dalam air termasuk oksigen. Semakin tinggi suhu , semakin kecil kelarutan oksigen dalam air, padahal kebutuhan oksigen dalam air bagi ikan semakin besar karena tingkat metabolisme semakin tinggi.  Kisaran optimal suhu yang baik bagi kehidupan ikan kerapu adalah 25 – 32 ppt.  (Slamet, B. 1993 dalam Koesharyani 2001)
2.4.2 Salinitas
Salinitas ( kadar garam ) merupakan konsentrasi garam dalam air laut. Salinitas sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik sel tubuh. Dengan demikian, bila seekor ikan dipindahkan dari habitat aslinya, misalnya dari salinitas tinggi ke salinitas yang rendah maka ikan tersebut akan menghadapi ancaman kematian, kecuali ikan tersebut mampu mentoleransi perubahan tersebut.  Ikan kerapu umumnya menyukai salinitas 30 – 35 ppt. (Sugama 1996 dalam Koesharyani 2001)
2.4.3 pH
Gerajat keasaman air ( pH ) dapat mempengaruh pertumbuhan ikan. pH air yang rendah atau sangat asam dapat menyebabkan kematian pada ikan dengan gejala gerak yang tidak teratur, tutup insang tidak bergerak aktif dan berenag sangat cepat dipermukaan air. Keadaan air yang sangat basah menyebabkan pertumbuha ikan terhambat.  Adapun kisaran pH yang baik untuk budidaya ikan kerapu yaitu 6,7 – 8,2
2.5 Pertumbuhan Ikan Karapu Macan
Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satu ukuran waktu, sedangkan bagi populasi adalah pertambahan.  Pertumbuhan merupakan proses biologi yang kompleks, dimana banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti kualitas air, ukuran, umur, jenis kelamin, ketersediaan organisme-organisme makanan, serta jumlah ikan yang memanfaatkan sumber makanan yang sama.  Menurut (Effendie 1997 dalam Roza 2003) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan faktor luar.   Faktor dalam meliputi faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari ikan, seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit.  Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, dan faktor kualitas air.  Faktor ketersedian makanan sangat berperan dalam proses pertumbuhan.  Pertama ikan memanfaatkan makanan untuk memelihara tubuh dan menggantikan sel-sel tubuh yang rusak, kemudian kelebihan makanan yang tersisa baru dimanfaatkan untuk pertumbuhan.
Pola pertumbuhan terdiri atas dua macam, yaitu pola pertumbuhan isometrik dan allometris.  Pertumbuhan isometris adalah perubahan terus menerus secara proporsional antara panjang dan berat dalam tubuh ikan.  Pertumbuhan allometrik adalah perubahan yang tidak seimbang antara panjang dan berat dan dapat bersifat sementara.
Ikan ikan kerapu macan yang termasuk ikan berumur panjang ini, bisa mencapai umur 40 tahun dan memiliki panjang maksimum yang pernah diketahui berukuran sepanjang 1200 mm.  Ikan kerapu macan berganti kelamin menjadi jantan ketika mencapai ukuran tertentu (Hermaphrodit protogyni).  Berdasarkan dari penelitian Pulau Palau, diketahui spesies betina dewasa berkisar pada ukuran 420 mm, dan jantan dewasa berkisar pada ukuran 698 mm (Johannes et al. 1999 dalam Naisirah 2012).   Adapun umur dan ukuran dugaan ikan ini benar-benar dewasa, yang mana 50% betina aktif secara seksual selama masa bertelur adalah ukuran panjang total 570 mm.
2.6  Penyakit
Menurut Kordi (2002 dalam Karyono, 2011), penyakit yang sering menyerang ikan kerapu ada dua macam yaitu penyakit infeksi adalah penyakit yang dapat mengingfeksi ikan kerapu yaitu berupa jamur, bakteri maupun virus.  Sedangkan yang ke dua yaitu penyakit non infeksi adalah penyakit pada ikan kerapu yang disebabkan oleh tidak sesuaiannya media pemeliharaan ikan kerapu yang ada di tambak dengan kondisi aslinya di alam sehingga menyebakan ikan kerapu tersebut dapat terserang penyakit infeksi terutama bakteri.
2.6.1 Iridovirus
Iridovirus adalah virus hewan yang menginfeksi invertebrata dan vertebrata poikilotermik, seperti ikan, insekta, amfibi, dan reptil.  Iridovirus merupakan virus DNA untai ganda berbentuk simetri ikosahedral, tidak semuanya beramplop, dan mempunyai diameter 120-300 (Tidona et al., 1998 dalam Roza, D., Jhonny, F dan Zafran).  Virion iridovirus terdiri dari tiga domain konsentris yaitu protein capsid di bagian luar, membran lipid yang mengandung subunit protein di bagian tengah, dan core yang tersusun dari kompleks DNA-protein. Virus ini memiliki 25-75 protein struktural dengan kisaran berat molekul 12.000-150.000 kDa.  Secara umum protein capsid iridovirus berukuran sekitar 50 kDa dan merupakan komponen struktural utama yang jumlahnya mencapai 45% dari protein virion total.  Ukuran genom iridovirus bervariasi antara 105-212 kbp).
Iridovirus mempunyai strategi replikasi yang melibatkan stadium nuklear dan sitoplasmik, menghasilkan genom komplit dengan duplikasi beberapa gen di ujungnya (terminal redundancy) dan ujung tersebut berbeda diantara partikel virus yang dihasilkan (cyclic permutation).  Gen penyandi protein capsid dari beberapa iridovirus vertebrata dan invertebrata telah disekuensing dan coding region nya mempunyai banyak kemiripan.


Penyebaran Iridovirus
Infeksi iridovirus diketahui sebagai salah satu penyakit yang mematikan pada budidaya jaring apung ikan laut seperi ikan kakap merah di Jepang dan ikan kerapu di Asia Tenggara.  Kerugian ekonomi yang diakibatkan penyakit ini bernilai tinggi, karena virus ini menginfeksi pada stadia  fingerling sampai ukuran siapa jual.  Di Indonesia penyakit ini pertama kali di temukan pada ikan kerapu lumpur di Sumatra Utara pada keramba jaring tancap padatahun 2000 dengan kematian mencapai lebih dari 80%.  Akhir akhir ini di Balai Penelitian Gondol, virus tersebut di temukan pada ikan kerapu lumpur (Epinephelus coioides) dan kerapu duskytail (E. bleekery).
Gejala Klinis
Ikan yang terinfeksi iridovirus nampak lemah, nafsu makan menurun, mengalami anemia yang berat, bercak merah (ptechiae) pada insang, pembengkakan limpa, dan ginjal.  Menurut (Tidona et al. 1998 dalam Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa.), kerapu malabar yang terinfeksi iridovirus menunjukkan gejala warna insang dan tubuh pucat, hilangnya keseimbangan sehingga ikan diam di dasar jaring apung dan biasanya akan mati dalam waktu satu hari setelah gejala muncul.
Ikan yang terineksi terlihat berenang lemah di permukaan air atau berenag di dasar bak.  Ikan terlihat berwarna lebih gelap dengan ditandai anemia yang berat dilihat dari warna insangnya dan dengan hematokrit kendungan sel darah merahnya kurang dari 25%.  Hati terlihat berwarna gelap yang disebabkan pendarahan yang sangat berat atau pembengkakan yang disertai dengan warna. Pada limfa juga terlihat pembengkakan dilihat adanya sel sel yang membesar.  Secara histoptologi pembesaran sel ini dapat dilihat pada organ limfa, ginjal dan hati.  Pembesaran monosit yang mengandung sel asing juga ditemukan pada limfa, ginjal dan hati.
Penyebab Grouper Sleeping Disease Iridovirus (GSDIV)
Disebabkan oleh suatu virus DNA sitoplasmik dengan bentuk icosahedral, yang digolongkan kelompok Iridoviridae.  DNA virus ini dapat diperbanyak dengan PCR menggunakan sepasang primer yang digunakan untuk infeksi iridovirus pada kakap merah (RSIV).  Cara ini sangat cepat untuk mendiagnosa adanya infeksi iridovirus.  Hasil percobaan infeksi buatan, menunjukkan bahwa virus ini sangat patogen terhadap ikan kerapu bebek. (Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa. 2001)
Upaya Pencagahan
Yang penting disini adalah mengurangi stres selama pengankutan dan pemeliharaan ikan dengan kepadatan rendah.  Di Jepang, penggunaan vaksin sudah terbukti ke efektipannya dalam mengurangi kematian yang disebabkan oleh iridovirus.
2.6.2 Bakteri
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri merupakan penyakit yang paling umum dijumpai pada usaha budidaya ikan laut.  Bakteri merupakan jasad renik yang kira-kira duapuluh kali lebih kecil dari sel-sel jamur, protozoa atau sel daging ikan. Biasa terdapat di udara, dalam tanah maupun dalam air dan benda padat lainnya. Sebagian besar bakteri sebenarnya tidak menyebabkan penyakit. Namun bakteri mempunyai kemampuan memperbanyak diri sangat cepat, sehingga apabila bakteri tersebut berada dalam bagian tubuh hewan. (Hafifah, YN et,al. 2012)
Siklus Hidup Bakteri
                        Bakteri bereproduksi secara vegetatif dengan membelah diri secara biner. Pada lingkungan yang baik bakteri dapat membelah diri tiap 20 menit. Pembuahan seksual tidak dijumpaipada bakteri, tetapi terjadi pemindahan materi genetik dari satu bakteri ke bakteri lain tanpa menghasilkan zigot.  Peristiwa ini disebut proses paraseksual.  Ada tiga proses paraseksual yang telah diketahui, yaitu transformasi, konjugasi, dan transduksi.  Siklus hidup bakteri dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Siklus hidup bakteri

Anatomi dan morfologi bakteri dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Anatomi dan morfologi bakteri
Bakteri bermacam-macam jenisnya, yang menyerang manusia, berbeda dengan jenis yang menyerang ikan dan tumbuh-tumbuhan.  Tetapi ada pula jenis-jenis yang dapat menyerang manusia dan hewan sekaligus.  Ikan yang terserang oleh bakteri dapat memperlihatkan gejala yang berbeda-beda.  Jika bakterinya menyerang kerusakan-kerusakan pada kulit yang terlihat seperti kena api (luka bakar), seperti kudis/borok yang membusuk. (Hafifah, YN et,al. 2012)
Infeksi bakteri biasanya timbul apabila ikan menderita stres.  Kematian banyak terjadi pada ikan yang menderita stres karena serangan bakteri yang menyebabkan infeksi.  Penyakit bakteri merupakan jenis yang terbanyak didapati pada usaha budidaya ikan di laut. (YC. Chong. 1986 dalam Hafifah, YN et,al. 2012) menyebutkan bahwa di perairan Siangapura terdapat 3 kelompok utama penyakit yang disebabkan oleh bakteri, yaitu : pembusukan sirip/ekor, Vibriosis dan Streptococcosis.
Pembusukan sirip/ekor (Bakteri Fin Rot)
Bakteri ini biasanya menyerang sirip-sirip, terutama sirip ekor dan dapat mengakibatkan luka dan pengelupasan kulit. Ikan yang terserang penyakit ini akan menalami luka/kerusakan pada bagian tepi dan sirip-siripnya, termasuk sirip ekor dan akan terkikis secara tidak teratur.  Bahkan tidak jarang terjadi sirip yang terserang akan tinggal bagian pengkalnya saja.  Jika diamati pada bagian yang terkena penyakit atau bagian yang luka hanya sedikit terdapat protozoa, tetapi diketemukan banyak sekali populasi bakteri yang terdiri dari bakteri Mycobacter sp.
Vibrio sp, jenis-jenis Pseudomonas dan Cocci gram positif.  Diperkirakan bahwa kerusakan yang terjadi tersebut diakibatkan oleh serangan bakteri dengan populasi yang sangat padat.  Bakteri ini mudah menular lewat luka-luka ikan yang lain akibat sentuhan ekor yang sakit.  Bakteri yang paling dominan adalah Vibro sp karena mempunyai kemampuan yang baik untuk hidup di air laut dan pertumbuhannya untuk membentuk koloni lebih cepat dibandingkan dengan bakteri yang lain. (Direktorat Bina Produksi, Direktorat Jenderal Perikanan dan Departemen Pertanian, Jakarta, 1996)
Pada dasarnya penyakit ini tidak begitu berbahaya, tetapi yang menjadikan bahaya justru infeksi sekunder jenis bakteri lain yang dapat memperparah penyakit tersebut dan menyebabkan kematian ikan.


Pencegahan dan pengobatan Pencegahan dapat dilakukan dengan jalan perendaman ikan yang sakit ke dalam bak air dengan menggunakan :
§  Nitrofurozone 15 ppm, selama 3 - 4 jam.
§  Suplhonamide 50 ppm, selama 3 - 4 jam.
§  Neomycin sulphate 50 ppm, selama 1 - 2 jam.
§  Chloramphenicol 50 ppm, selama 1 - 2 jam.
§  Acriflavine 100 ppm, selama 1 menit.
Sesudah pengobatan, tempatkan ikan ke dalam kurungan yang bersih dengan kepadatan yang rendah dan aliran air yang baik, atau pada bak dengan penambahan aerasi secukupnya.
Vibriosis
Vibriosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibrio sp. Bakteri Vibrio sp termasuk kelompok bakteri yang heterogen dan gram negatif. Ada 2 bakteri penting yang diketahui menyerang ikan laut yaitu : V. alginolyticus dan V. parahaemollyticus. Vibriosis merupakan penyakit sekunder, artinya penyakit ini muncul setelah adanya serangan penyakit yang lain misalnya protozoa atau penyakit lainnya.
Dari percobaan yang dilakukan terhadap bakteri yang diisolasikan dari ikan kerapu dan kakap putih yang sakit, ternyata bakteri ini tidak mampu membuat ikan menjadi sakit vibriosis setelah dilakukan penyuntikan dengan bakteri tersebut. (Direktorat Bina Produksi, Direktorat Jenderal Perikanan dan Departemen Pertanian, Jakarta, 1996)
Terkecuali apabila dosisnya tinggi. Ikan kerapu yang terkena Vibriosisi akaibat suntikan bakteri tersebut, akan mengalami perubahan warna kulit menjadi lebih gelap dan daerah bekas suntikan akan menjadi borok.  Selanjutnya akan terjadi pendarahan pada bagian peritonial dan ginjalnya akan rusak.  Pengamatan di alapangan juga menunjukkan gejala ikan kurang nafsu makan, busuk sirip dan akumulasi cairan di bagian abdomen.  Beberapa pengobatan dengan antibiotik dapat dilakukan antara lain :
§  Menggunakan Oxytetracycline sebanyak 0,5 garam per kg makanan ikan selama 7 hari.
§  Menggunakan Sulphonamides 0,5 gram per kg makanan ikan selama 7 hari.
§  Chloromphenicol sebanyak 0,2 gram per kg berat makanan ikan selama 4 hari.
Apabila ikan tak mau makan, cobalah pengobatan dengan perendaman sbb :
§  Nitrofurozon 15 ppm, selama lebih kurang 4 jam.
§  Sulphonamides 50 ppm, selama lebih kurang 4 jam
2.7 Vaksinasi
Cara pengendalian penyakit yang paling murah dan efisien adalah dengan cara pencegahan.  Mencegah timbulnya penyakit dapat dengan, pengelolaan lingkungan, penggunaan pakan yang tepat mutu, tepat jumlah dan tepat pemberiannya.  Salah satu cara pencegahan yang sekarang sudah mulai dilaksanakan adalah dengan cara menimbulkan kekebalan. Kekebalan pada ikan dapat ditimbulkan baik dengan menggunakan vaksin maupun dengan menggunakan imunostimulator lain. Dengan hanya 1 atau dua kali pemberian vaksin biasanya daya tahan tubuh/kekebalan akan bertahan sampai akhir masa pemeliharaan ikan. (Supriyadi, H., Taukhiddan G. Moekti. 1997)
Vaksinasi pada perikanan budidaya telah terbukti memberi kontribusi yang sangat signifikan terhadap peningkatan produksi perikanan budidaya, terutama industri salmon dan trout di Eropa.  Saat ini, sedikitnya ada 10 jenis vaksin telah dipasarkan secara umum dan diaplikasikan oleh pembudidaya ikan di Amerika, Eropa dan Jepang. Keberhasilan program vaksinasi tersebut cukup menggembirakan, hal itu terlihat dari:
·         Menurunnya tingkat mortalitas ikan budidaya akibat infeksi patogen potensial,
·         Menurunnya penggunaan antibiotik pada budidaya ikan, dan
·         Menurunnya daya resistensi beberapa jenis patogen terhadap antibiotik.
Masalah yang ada pada ikan ialah bahwa sistem kekebalan pada ikan masih sangat sederhana, sehingga respon kebal yang timbul akibat rangsangan imunostimulator biasanya tidak optimal, serta level antibodi yang dihasilkannya juga masih rendah. Oleh karena itu  sebelum vaksinasi pada ikan dilakukan  maka kita harus memahami persyaratan-persyaratan kusus berkaitan dengan ikan yang akan divaksinasi.

2.7.1 Persyaratan Vaksinasi pada Ikan
Sebagaimana  mahluk lain ikan juga memiliki sistem kekebalan walaupun sistem kekebalan pada ikan masih sangat sederhana. Ikan memiliki 2 (dua) jenis kekebalan yaitu kekebalan perantara sel (Cell mediated immunity)atau sering dikenal dengan kekebalan non-spesifik dan kekebalan humoral (Humoral immunity) atau kekebalan spesifik.  Namun demikian kekebalan pada ikan masih didominasi oleh kekebalan seluler.  Kekebalan pada ikan bisa dirangsang pembentukannya dengan cara vaksinasi atau dengan pemberian imunostimulator lain. (Supriyadi, H., Taukhiddan G. Moekti. 1997)
Proses induksi kekebalan umumnya mulai dapat terdeteksi setelah 2 – 3 minggu dari saat pemberian vaksin. Idealnya, vaksinasi sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi bakteri A. hydrophila dilakukan lebih dari satu kali.  Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa antibodi yang diperoleh pada vaksinasi pertama (priming) relatif rendah, karena pada tahap tersebut lebih banyak sebagai proses pengenalan atau lebih umum disebut proses memorizing terhadap antigen.  Proses peluruhan antibodi yang telah terbentuk dari hasil priming juga relatif cepat,  yaitu sekitar 1,5 – 2 bulan. Untuk meningkatkan kadar antibodi dalam tubuh ikan hingga mencapai level protektif, maka perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) yang dapat diberikan 1,5 bulan kemudian melalui pakan atau melalui perendaman. Hasil booster akan meningkatkan level antibodi yang sangat signifikan, dan biasanya sudah cukup untuk memberi bekal kekebalan tubuh hingga akhir masa pemeliharaan (6 – 12 bulan).
Keberhasilan program vaksinasi tidak hanya ditentukan oleh keampuhan dari vaksin yang digunakan, tetapi juga sangat ditentukan oleh bagaimana dan kapan sebaiknya vaksin itu diberikan. Oleh karena itu, ada beberapa persyaratan yang sebaiknya diperhatikan sebelum melakukan vaksinasi terhadap ikan.
·         Sebaiknya ikan telah berumur 3 minggu atau lebih, karena pada umur kurang dari 3 minggu, organ-organ yang berperan dalam sistem pembentukan antibodi belum sempurna.  Organ-organ yang terlibat dalam sistem kekebalan tubuh ikan meliputi “reticulo endothelial” (ginjal bagian depan, thymus, limfa, dan hati), limfosit, plasmosit dan fraksi serum protein tertentu.
·         Status kesehatan ikan harus dalam kondisi optimal, ikan yang sedang sakit misalnya karena terinfeksi patogen parasitik sebaiknya jangan divaksinasi terlebih dahulu sebelum parasit tersebut diberantas.
·         Suhu air relatif hangat (diatas 26o C). Berdsarkan pengalaman, vaksinasi dan pemeliharaan ikan pada suhu air  ≥ 28o C, respon antibodi yang terbentuk akan lebih cepat dibandingkan dengan suhu air yang lebih rendah.
·         Air yang digunakan untuk melakukan vaksinasi dan pemeliharaan ikan harus bebas dari unsur polutan.  Air yang mengandung unsur polutan akan menghambat proses pembentukan antibodi (immunosuppressif) dalam tubuh ikan.

2.7.2 Tekhnik Aplikasi Vaksin  Pada Ikan
Aplikasi Vaksin Melalui Perendaman.
Untuk ikan yang ukurannya kecil dalam jumlah banyak biasanya aplikasi vaksin akan lebih efisien dilakukan dengan melalui perendaman.  Perendaman biasanya dilakukan dalam suatu wadah tertentu dengan mengguinakan volume air tertentu yang kemudian kedalam nya dicampurkan sejumlah vaksin sehingga mencapai dosis yang disarankan. Kemudian ikan yang akan divaksinasi dimasukkan kedalam larutan tersebut. Jangka waktu perendaman ikan dalam larutan vaksin biasanya sekitar 15 – 30 menit. Selama proses vaksinasi sebaiknya dilengkapi dengan aerasi, dan kepadatan ikan tidak terlalu tinggi (antara 100 – 200 gram/L air).
Aplikasi Vaksin Melalui Pakan
Teknik ini lebih sesuai untuk ikan yang sudah dipelihara dalam kolam pemeliharaan ataupun sebagai upaya vaksinasi ulang (booster). Dosis vaksin yang digunakan untuk teknik ini sesuai dengan dosis yang direkomendasikan (sebagai contoh untuk vaksin HydroVac adalah 3-5 ml/kg bobot tubuh ikan) dan pemberian vaksin melalui pakan sebaiknya dilakukan selama 5–7 hari berturut-turut. (Supriyadi, H., Taukhiddan G. Moekti. 1997)
Alpikasi Vaksin Melalui Suntikan.
Cara pemberian vaksin dengan melalui suntikan lebih tepat untuk ikan-ikan yang berukuran relatif besar, jumlahnya tidak terlalu banyak dan berharga, misalnya induk ikan. Namun demikian mengenai jumlah yang banyak pada saat ini tidak merupakan masalah yang menjadi factor pembatas karena sudah ada alat vaksinasi automatic. Keuntungan pemberian vaksin melalui penyuntikan adalah 100% vaksin dapat masuk ke dalam tubuh ikan.
Ada dua cara penyuntikan yang biasa dilakukan, yaitu dimasukkan ke rongga perut (intra peritoneal) dan dimasukkan ke otot/daging (intra muscular). Penyuntikan secara IP biasanya dilakukan di bagian perut, diantara kedua sirip perut atau sedikit di depan anus, dengan sudut kemiringan jarum suntik (needle) kira-kira 30o. Penyuntikan secara IM biasanya dilakukan di bagian punggung, pada ikan yang bersisik biasanya dilakukan di sela-sela sisik ke 3 – 5 dari kepala, dengan sudut kemiringan jarum suntik kira-kira 30 – 40o.  Namun mengingat bahwa sifat kulit ikan ini tidak dapat secara cepat menutup kembali setelah ditusuk dengan jarum suntik (daya elastisnya kurang) maka lebih disarankan penyuntikan dengan vaksin dilakukan secara intraperitonial.
Keberhasilan vaksinasi bisa dievaluasi dengan meningkatnya sintasan (SR) ikan yang divaksin dibandingkan dengan ikan yang tidak divaksin. Efektifitas vaksin juga dilambangkan dengan harga Relative Percentage Survival (RPS) ikan yang divaksin lebih tinggi dari 60%.
2.8 Sistem Kekebalan Tubuh Ikan
Sistem kekebalan pada ikan terbagi atas sistem pertahanan non spesifik dan spesifik.  Proses pertahanan tubuh yang sederhana ditampilkan oleh organisme sebagai bentuk pertahanan dengan mengandalkan struktur fisik, kerja mekanik alat pertahanan dan pengeluaran substansi kimiawi yang sangat sederhana.  Pada ikan, fagositosis adalah bentuk respon pertahan tubuh yang paling sederhana, namun sangat penting, sebagai wujud sistem petahanan non spesifik.   Ketika ikan mengalami infeksi mikroba patogen, mekanisme kekebalan non-spesifik akan bekerja untuk menghentikan proses infeksi tersebut.  Jika mekanisme tersebut tidak bekerja efektif, maka infeksi akan berlanjut dan mampu menimbulkan gejala klinis penyakit.  Pada saat itu respon kekebalan spesifik akan mulai terjadi dan jika  ikan mampu bertahan hidup maka akan terbentuk antibodi spesifik terhadap agen infeksi pada level titer protektif dan terbentuk pula sel-sel memori.  Jika terjadi reinfeksi oleh agen penyakit sejenis, maka ikan tersebut akan kebal, mampu menahan infeksi karena respon kekebalan sekunder akan terjadi, sebagai efek booster. (Supriyadi, H., Taukhiddan G. Moekti. 1997).
Mekanisme kekebalan non-spesifik juga dikenal sebagai kekebalan alamiah (innate immunity), merupakan mekanisme pertahanan inang yang responnya tidak bergantung pada frekuensi kontak terhadap antigen tertentu. Berbeda dengan respon kekebalan spesifik (humoral mediated immunity) maupun (cellular mediated immunity) yang responnya sangat tergantung pada frekuensi kontak induk dengan antigen tertentu sebelumnya (sering pula disebut adaptive immunity).  Meskipun demikian, beberapa fungsi dari sistem kekebalan non-spesifik juga terlibat dalam sistem kekebalan spesifik.  Sistem pertahanan pada ikan akan terbentuk sempurna saat ikan telah dewasa. Pada benih ikan sistem kekebalan tubuh sudah terbentuk tetapi belum berfungsi optimal sehingga kurang efisien dalam menahan infeksi patogen.  Pada tahap ini, ikan rentan terhadap penyakit.  Sistem pertahanan non spesifik merupakan pertahanan tubuh yang terdepan ketika menghadapi paparan patogen karena memberikan respon langsung terhadap antigen.  Sistem pertahanan tubuh non spesifik terdiri dari kulit dan selaput mukosa.  Sistem pertahanan tubuh spesifik adalah sistem kekebalan tubuh khusus yang membuat limfosit peka untuk segera menyerang patogen tertentu.
Ikan bertulang belakang secara umum memiliki sistem pertahanan berupa sel-T, sel-B dan immunoglobulin. Sedangkan ikan bertulang rawan mempunyai imunoglobulin, sel-T, sel plasma dan IgM. Amphibia memiliki sel-T, IgG, IgM dan  nodulus limfatikus, sedangkan reptilia memiliki sel-T, IgG, dan IgM. 
2.8.1 Sistem kekebalan non-spesifik
Kekebalan non-spesifik adalah suatu sistem pertahanan tubuh yang berfungsi untuk melawan segala jenis patogen yang menyerang dan bersifat alami. Kekebalan non-spesifik merupakan imunitas bawaan (innate immunity),yaitu respon perlawanan terhadap zat asing yang dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut. (Supriyadi, H., Taukhiddan G. Moekti. 1997)
Sistem kekebalan non-spesifik mencakup pertahanan pertama dan pertahanan kedua.  Pertahanan pertama yaitu pertahanan fisik meliputi, sisik, kulit, dan mukus. Mukus memiliki kemampuan menghambat kolonisasi mikroorganisma pada kulit, insang dan mukosa. Mukus ikan mengandung imunoglobulin (IgM) alami dan bukan sebagai respon dari pemaparan antigen. Imunoglobulin merupakan antibodi yang dapat menghancurkan patogen yang menyerang tubuh.  Adapun sisik dan kulit berperan dalam melindungi ikan dari kemungkinan luka dan sangat penting peranannya dalam mengendalikan osmolaritas tubuh.  Kerusakan pada sisik atau kulit dapat mempermudah patogen menginfeksi inang.
Sel-sel fagosit menghancurkan antigen melalui tiga tahap, yaitu pelekatan, fagosit dan pencernaan.  Proses fagosit sendiri dapat terjadi apabila sel-sel fagosit berada dalam jarak dekat dengan antigen, atau antigen tersebut harus melekat pada permukaan sel fagosit.  Sel makrofag dan netrofil juga masih memiliki kemampuan untuk melakukan mekanisme pertahanan non-spesifik melalui proses chemotaksis dan pinocytosis. Chemotaksis adalah proses dimana sel fagosit dipancing oleh berbagai jenis molekul untuk melakukan migrasi ke lokasi terjadinya inflamasi, kerusakan jaringan atau reaksi antigen-antibodi (immune reactions). Fenomena ini ditandai oleh proses pembukaan membran sel membentuk lubang (vakuola) kecil melalui proses endocytosis.
2.8.2 Sistem Kekebalan Spesifik
Ada beberapa substansi sel dan organ yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh suatu organisme.  Elemen-elemen tersebut sering disebut dengan sistem kekebalan (immune system).  Organ yang termasuk dalam sistem kekebalan adalah sistem “Reticulo Endothelial”, limfosit, plasmosit, dan fraksi serum protein tertentu.
Sel yang berperan dalam sistem tanggap kebal terdiri dari dua jenis sel limfosit yaitu limfosit-B dan limfosit-T. Aktivitas yang pasti dari sel-T pada ikan belum banyak diketahui tapi yang jelas peran utamanya adalah dalam sitem kekebalan seluler dan biasanya disebut dengan imun perantara sel (cell mediated immunity). Sel-B berperan dalam produksi imunoglobulin melalui rangsangan antigen tertentu dan imunoglobulin diproduksi oleh sel tertentu pada limpa dan mungkin juga pada organ hati. (Supriyadi, H., Taukhiddan G. Moekti. 1997).




III  METODOLOGI
3.1  Waktu Dan Tempat
Kegiatan praktek kerja pengalaman mahasiswa (PKPM) ini dilaksanakan selama Tanggal 24 Februari – 19 Mei 2014 di Laboratorium Patologi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) yang terletak di Dusun Gondol, Desa Penyambangan, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali           
3.2  Metode Pengumpulan Data
Laporan ini ditulis berdasarkan hasil kegiatan PKPM meliputi wawancara dan diskusi dengan teknisi dan peneliti BBPPBL Gondol, Bali serta studi pustaka yang berkaitan dengan judul kegiatan ini.
3.3 Alat dan Bahan
            Alat dan bahan yang digunakan selama mengikuti kegiatan Praktek Pengalaman kerja Mahasiswa di Labolatorium Patololgi BBPPBL. Gondol disajikan pada Tabel 1 dan 2.




Tabel 1  Alat yang digunakan di kolam budidaya BBPPBL Gondol
No
Alat
Kegunaan
Keterangan
1
Bak Beton
Wadah Pemeliharaan
150 X 50 x 80 cm
2
Bak Fiber
Wadah Pemeliharaan
Vol. 100 liter
3
Timbangan
Menimbang

4
Mistar
Mengukur
Panjang 20 cm
5
Sifon
Menyipon

6
Ember
Penampungan Ikan Sementara
Vol. 15 liter
7
Spuit
Ijeksi Vaksin dan Sampling Darah
Vol. 3 ml
8
Basket
Penampungan Ikan

9
Blower
Aerasi


Tabel 2 Bahan yang digunakan di laboratorium Patologi BBPPBL
No
Bahan
Fungsi
Keterangan
1
Ikan Kerapu Macan
Organisme Budidaya

2
Vaksin (Polyvalent Dan GSDIV)
Imunostimulan

3
Pakan Pelet
Pakan Ikan
Pakan Tenggelam
4
Antikoagulan
Mencegah Penggumpalan Darah




3.4  Prosedur Kerja
3.4.1 Pembuatan Vaksin Bakteri Polivalen
Vaksin bakteri Vibrio polivalen dibuat dengan mencampurkan 3 spesies Vibrio (Vibrio harveyi, Vibrio alginolyticus dan Vibrio parahaemolyticus). Masing-masing spesies dikultur secara massal pada media TSA + 2% NaCl selama 48 jam pada suhu 27o  C.  Bakteri tersebut dipanen dan dimatikan dengan formalin 0,01%, selanjutnya dicuci sebanyak 3 kali melalui sentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3.200 rpm untuk menghilangkan formalin. Vaksin anti bakteri Vibrio polivalen dibuat dengan mencampurkan ketiga spesies bakteri tersebut dengan perbandingan 1:1:1.
3.4.2 Pengemasan vaksin bakteri dalam bentuk cair
            Masing-masing vaksin yang telah dihasilkan dimasukkan ke dalam botol kaca volume 50 ml dan 100 ml. Setelah pengisian vaksin selesai, selanjutnya dipasang tutup botol dari bahan karet dan penyegelan dengan segel cair.  Segel cair ini segera membeku begitu kontak dengan udara. Vaksin dalam kemasan botol disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 4 – 100 C sampai digunakan.
3.4.3   Perbanyakan bakteri pembawa protein rekombinan GSDIV
Sel kompeten yang telah positif (analisa dengan PCR) membawa gen target GSDIV, dikultur secara massal dalam media LB broth.  Hasil kultur diukur kepadatan bakterinya dengan spectrophotometer. Bakteri tersebut diinduksi dengan IPTG dan dianalisa SDS-page.  Apabila mengandung protein rekombinan GSDIV sesuai target, maka bakteri tersebut diinaktifkan dengan 0,01-0,05% formalin, dicuci dengan NaCl/PBS.  Vaksin rekombinan tersebut disimpan pada suhu dingin.
3.4.4   Aplikasi kombinasi vaksin bakteri polivalen dan GSDIV
            Benih ikan kerapu macan ukuran 7-8 cm sebanyak 900 ekor divaksinasi dengan kombinasi vaksin bakteri polivalen dan vaksin GSDIV.  Vaksin bakteri polivalen diaplikasikan melalui perendaman selama 1 jam (Gambar 4) dengan konsentrasi 1 ml vaksin/1 l air laut. Sedangkan vaksin GSDIV diaplikasikan melalui penyuntikan dengan konsentrasi 0,1 ml/ekor (Gambar 5).  Kelompok ikan kontrol tanpa perlakuan vaksinasi.  Jarak antara vaksinasi bakteri polivalen dengan vaksinasi GSDIV adalah 1 minggu.  Sedangkan aplikasi vaksin melalui pakan dengan konsentrasi 5 ml/kg pakan, diberikan dua kali sehari selama 5 hari dan selanjutnya dilakukan pergantian pakan dengan pakan biasa.  Penelitian dilakukan dalam rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan. Ikan selanjutnya dipelihara dalam  sembilan buah bak beton dengan ukuran 150 X 50 x 80 cm.  Bak  diisi 600 l air laut yang telah disaring dengan saringan pasir, dilengkapi dengan sistem air mengalir dan diaerasi.  Booster diberikan 2 minggu pasca vaksinasi awal.  Vaksinasi ulang diberikan lagi pada hari ke-30 dan hari ke-60.  Selama pemeliharaan ikan diberi pakan pelet dua kali sehari, pada pagi dan sore hari.  Pembersihan bak dilakukan setiap pagi dengan penyiponan.








Gambar 4 perendaman dengan vaksin
Gambar 5 injeksi vaksin
3.4.5        Sampling
·          Dua buah ember disiapkan kemudian disi dengan air
·         Kemudian ikan diambil sebanyak 10 ekor tiap bak untuk disampling dan kemudian dipindahkan ke ember dengan menggunakan skop net
·         Satu persatu ikan diukur panjang dan ditimbang beratnya kemudian ikan yang telah diukur di simpan pada ember yang satunya agar tidak tercampur  dengan ikan yang belum diukur
·         Setelah selesai sampel ikan tersebut dikembalikan pada pemeliharaan
3.4.6        Sampling Darah
·         Ikan diambil sebanyak 5 ekor tiap bak dan di pindahkan pada ember
·         Kemudian sampel darah ikan diambil pada vena anterior sebanayak 1ml dengan menggunakan spuit 3 ml yang telah ditambahkan antikoagulan untuk mencegah terjadinya penggumpalan pada darah
·         Setelah selesai ikan dikembalikan pada bak pemeliharaan
Pengambilan sampel darah pada ika dapat dilihat pada Gambar 6.












Gambar 6 Sampling darah









3.5 Parameter Yang Diamati
3.5.1 Sintasan (SR
Sintasan (SR) adalah persentase jumlah benih ikan kerapu yang masih hidup sampai akhir pemeliharaa.  Perhitungan kelangsungan hidup dirumuskan oleh Mudjiman, 2004 dalam Sari 2006.
3.5.2   Uji Titer Darah
Uji titer adalah prosedur yang disusun dalam seri pengenceran bertingkat dari semua yang diuji. Setiap pengenceran diuji aktivitasnya.  Perbandingan terbalik pengenceran tertinggi yang member reaksi positif disebut titer dan merupakan ukuran jumlah antibodi dalam serum.
3.6     Analisis Data
3.6.1 Sintasan (SR)
Sintasan (SR) adalah persentase jumlah benih ikan kerapu yang masih hidup sampai akhir pemeliharaa.  Perhitungan kelangsungan hidup dirumuskan oleh Mudjiman, 2004 dalam Sari 2006. Sebagai berikut:
SR =    Nt x 100%
            No

Keterangan      SR       = Kelangsungan Hidup
                        Nt        = Jumlah Ikan pada akhir pemeliharaan
                        No       = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan


3.6.2 Uji Titer Antibodi
            Uji titer antibodi dilakukan dalam wadah “micro-well” dengan 96 sumur/lubang berpedoman pada Tizard (1988) dan Roberson (1993). Serum darah ikan uji diencerkan secara bertingkat sebagai berikut: Ke dalam sumur ke-1 dan ke-2 dimasukkan masing-masing 50 µl serum darah ikan. Ke dalam sumur ke-2 selanjutnya ditambahkan 50 µl PBS dan diaduk merata. Dari sumur ke-2 selanjutnya diambil 50 µl dan dimasukkan ke dalam sumur ke-3.  Ke dalam sumur ke-3 selanjutnya ditambahkan 50 µl PBS dan diaduk merata.  Proses yang sama selanjutnya dilakukan pada sumur ke-4 dan seterusnya.  Ke dalam masing-masing sumur selanjutnya dimasukkan 50 µl masing-masing antigen (bakteri dan virus GSDIV) secara terpisah.  Campuran serum darah ikan dan antigen diaduk kemudian digoyang dengan rotator plate selama 1-3 menit dan didiamkan pada suhu kamar selama 4-6 jam.  Aglutinasi atau penggumpalan antigen oleh serum diamati secara mikroskopis.  Pada tingkat pengenceran tertinggi dimana masih terjadi aglutinasi dinyatakan sebagai nilai titer antibodi dari ikan uji. (Zafran, et al 2014)





IV  HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.  Sintasan (SR)
Sintasan dari tiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7
Gambar 7 Persentase sintasan ikan kerapu macan dengan metode vaksinasi
Dari hasil perhitungan kelangsungan hidup ikan kerapu macan yang dipelihara di laboratorium Patologi BBPPBL seperti pada diagram di atas dapat jelskan bahwa pemberian vaksin pada organisme yang dibudidayakan dapat meningkatkan resistensi terhadap penyakit tertentu yaitu dengan tingginya nilai sintasan (survival rate) jika dibandingkan dengan kontrol.  Terjadinya perbedaan sintasan yang nyata antara kelompok ikan yang divaksin dengan yang tidak divaksin adalah salah satu hal yang dapat mengidentifikasikan bahwa pemberian vaksin pada ikan dapat meningkatkan sintasan.  Hal tersebut menunjukkan bahwa kekebalan tubuh ikan yang divaksin terhadap penyakit lebih tinggi dari ikan yang tidak divaksin (kontrol).
 Sintasan yang diperoleh seperti pada gambar sebelumnya (Gambar 7) adalah data yang diolah dari hasil perhitungan jumlah ikan yang mati dari awal sampai akhir pemeliharaan dapat dilihat pada tabel berikut:
Table 3 Jumlah ikan yang mati selama pemeliharaan
No
Perlakuan
Bak
Jumlah ikan yag mati
1
Perendaman 60”
B1,B5,B9
41 ekor
2
Injeksi IP
B2,B6,B10
57 ekor
3
Perendaman + Injeksi
B3,B7,B11
55 ekor
4
Kontrol
B4,B8,B12
91 ekor

Dalam aplikasi kombinasi vaksin polivalen dengan GSDIV dilakukan berbagi perlakuan pemberian vaksin.  Sesuai dengan diagram di atas vaksinasi dengan cara perendaman selama 60 menit mendapatkan nilai SR yaitu 93.1%. Pada perlakuan vaksinasi dengan cara injeksi mendaptkan nilai SR yaitu 90.5 % dan perlakuan dengan perendaman+injeksi mendapatkan nilai SR yaitu 90.8 % sementara SR pada control yaitu 84.8 %.
            Dari hasil perhitungan sintasan, terlihat bahwa perlakuan vaksinasi dengan cara perendaman lebih efektif jika dibandingan dengan metode vaksinasi hal ini karena tingginya nilai SR pada vaksinasi dengan perendaman, namun menurut Slamet Haryanto (teknisi di Lab.Patologi) bahwa efektifitas dari perlakuan vaksinasi tidak bisa hanya dengan melihat tinggi atau rendahnya nilai SR, hal ini karena kematian yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh penyakit tapi juga di pengaruhi oleh kualitas air.  Namun jika dibandingkan SR antara ikan yang divaksinasi dengan yang tidak terdapat perbedaan nilai SR yang signifikan seperti contohya pada vaksinasi dengan perendaman SR.nya yaitu 93.1% sedangkan pada control (tanpa pemberian vaksin) mempunyai nilai SR yaitu 84.8 %. Hal ini berarti bahwa pemberian vaksin dapat mengurangi kematian yang diakibatkan oleh penyakit.
4.2. Uji Titer
Table 4 uji titer aplikasi Kombinasi vaksin
No
Perlakuan
Uji Titer
Nilai titer
1
Perendaman 60”
Vibrio Harvey
1/16
Vibrio Alginoliticus
1/8
Photobacterium Leiognathi
1/16
2
Injeksi IP
Virus GSDIV
1/16
3
Perendaman 60” + Injeksi IP
Virus GSDIV
1/8
Vibrio Harvey
1/8
Vibrio Alginolitycus
1/8
Vibrio Leiognathi
1/8
4
Kontrol
Virus GSDIV
1/2
Vibrio Polivalent
1/2


Hasil pengukuran nilai titer antibody seperti yang terlihat pada table No. 2 menunjukkan bahwa ikan yeng divaksin mempunyai nilai titer antibodi mulai dari 1/8 – 1/16 dibandingkan dengan ikan kontrol yang hanya mencapai 1/2 nilai titer antibodi. Pada metode vaksin yang berbeda juga terjadi adanya perbedaan nilai titer antibodi, vaksinasi dengan cara injeksi IP + Perendaman 60” mempunyai titer antibodi sedikit lebih rendah yaitu rata-rata hanya 1/8 jika di bandingkan dengan cara injeksi dan perendaman yang mencapai 1/16.  Semakin tinggi nilai titer anti bodi ikan artinya semakin tinggi daya tahan tubuh ikan terhadap penyakit.
Pengenceran tertinggi yang memberi reaksi positif disebut titer dan merupakan ukuran jumlah antibodi dalam serum.  Antibodi dinyatakan positif apabila terjadi hemaglutinasi (Tizard, 1998 dalam Roza, 2009).  Reaksi hemaglutinasi positif yang terjadi diamati di bawah mikroskop dengan memperhatikan aglutinasi yang terlihat seperti gelembung bening.
Identifikasi keberhasilan vaksinasi yang dilakukan dapat dilihat dari meningkatnya kekebalan tubuh ikan terhadap penyakit tertentu.  Menurut Des Rosa et, al. (2002).  Prinsip dasar vaksin adalah memasukkan antingen ke dalam tubuh ikan yang sudah dihilangkan patogenesisinya, untuk merangsang sel -  sel limfosit sehingga menimbulkan ketahanan humoral (spsifik).  Vaksinasi pada ikan terbukti efektif meningkatkan kekebalan tubuh ikan terhadap penyakit hal ini dapat dibuktikan pada tingginya sintasan pada ikan yang di vaksin yang dibandikan dengan ikan yang tidak diberi vaksin serta tingginya nilai titer antibody pada ikan yang divaksin.
Vaksinasi mampu meningkatkan antibodi karena ikan mempunyai daya lindung yang baik. Bahkan Rosa et al.(2006); Rosa dan Jhonny (2008) melaporkan bahwa bakteri vibrio juga dapat digunakan sebagai imonostimulan yang efektif  untuk meningkatkan respon imun non-spesifik ikan kerapu bebek, C. altivelis terhadap inveksi VNN.


V  PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari hasil kegiatan ini menunjukkan bahwa vaksinasi pada ikan dapat meningkatkan ketahanan tubuh ikan tarhadap penyakit tertentu hal ini dibuktikan dengan tingginya nilai titer antibodi yaitu 1/16 pada kelompok ikan yang divaksin sedangkan pada kelompok ikan yang tidak divaksin nilai titer antibodinya hanya 1/2 dan sintasan yaitu 90.8 %  pada kelompok ikan yang divaksin sementara pada kelompok ikan yang tidak divaksin (kontrol) yaitu 84.8 %.
5.2. Saran
Dalam melakukan budidaya sudah seharusnya menggunakan vaksinasi sebagi bentuk pencegahan terhadap penyakit ikan yang menjadi salah satu kendala dalam melakukan budidaya perikanan karena telah terbukti efektif untuk meningkatkan kekebalan tubuh ikan terhadap penyakit serta meghindari rendahnya sintasan pada ikan yang dibudidayakan.



DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E., Liviawati, E., (1993). Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan: yogyakarta. Kanisius

Direktorat Bina Produksi, Direktorat Jenderal Perikanan dan Departemen Pertanian, Jakarta, 1996

Hafifah, YN.,et al. (2012). Laporan Praktikum Limologi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjajaran

Jhonny, F., (2014).Uji Aplikasi Vaksinn Bakteri Polivalen Melalui pakan di hatchery. Balai Besar Penelitian dan Pengembanagn Budidaya Laut, Gondol. Bali
Koesharyany, I., et,al. (2001). Penyakit Ikan Laut dan Krustase di Indonesia
Naisirah. 2012. Manajemen Kesehatan Ikan pada Pembesaran Ikan kerapu Cantang di Keramba Jaring Apung [Tugas Akhir]. Pangkep, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep

Rosa, D., Jhonny, F., &Zafran( 2009 ). Pengembanga Vaksin Bakteri Untuk Mengembangkan Imunitas ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap penyakit infeksi. Balai Besar Penelitian dan Pengembanagn Budidaya Laut, Gondol. Bali
Supriyadi, H.; Taukhiddan G. Moekti. (1997). Sistim Kekebalan (Imunitas) pada Ikan
Zafran, et,al (2014). Aplikasi kombinasi vaksin bakteri polivalen dengan vaksin anti GSDIV. Balai Besar Penelitian dan Pengembanagn Budidaya Laut, Gondol. Bali

Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa. 1998.  Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis (Ed. by K. Sugama, H. Ikenoue and K. Hatai). 44 p. Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency. Balai Besar Penelitian dan Pengembanagn Budidaya Laut, Gondol. Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar