Jumat, 20 November 2015

PERSIAPAN LAHAN BUDIDAYA UDANG VANAME

I. PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Udang adalah komoditas andalan dari sektor perikanan yang merupakan salah satu penghasil devisa bagi negara. Permintaan pasar domestik maupun dari manca negara cenderung mengalami peningkatan, sehingga usaha membudidayakan udang memiliki prospek yang cerah untuk dijadikan bisnis yang menguntungkan. Menurut Kusnendar, Indonesia pernah menikmati masa keemasan dalam bidang budidaya udang, yaitu pada waktu udang windu masih mudah untuk dipelihara, sekitar tahun 80an hingga pada awal 90an. Namun pada pertengahan tahun 90an dunia pertambakan diguncang prahara yang memilukan. Hampir semua petambak di seluruh tanah air bahkan juga petambak udang di luar negeri mengalami kerugian yang tidak sedikit. Dikarenakan udang windu yang dipeliharanya mati secara masal akibat serangan virus white spot yang mewabah.
Pemerintah dan petambak mencari solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut, salah satunya dengan memelihara spesies baru yaitu udang vaname (Litopenaeus vannamei). Udang vaname masuk ke Indonesia pada tahun 2001. Pada Mei 2002, pemerintah memberikan izin kepada dua perusahaan swasta untuk mengimpor induk udang vaname sebanyak 2000 ekor dan benur sebanyak lima juta ekor. Induk dan benur tersebut kemudian dikembangbiakan oleh hatchery pemula. Sekarang usaha tersebut sudah dikomersialkan dan berkembang pesat karena peminat udang vaname semakin menigkat. Udang vaname di kalangan petambak semakin popular, seiring dengan menurunya produksi udang windu akibat kondisi lngkungan yang buruk. Udang windu sangat rentan terhadap serangan penyakit, itu berbeda dengan udang vannamei yang lebih tahan terhadap serangan penyakit. Selain itu udang vannamei juga lebih tahan terhadap goncangan kondisi lingkungan yang ekstrim, bahkan sekarang sudah ada yang melakukan uji coba membesarkan udang vaname pada perairan yang kadar garamnya 0 ppm, yang kondisi lingkunganya sangat jauh berbeda dengan habitat aslinya.
Dengan semakin bertambah banyaknya pengusaha tambak di tanah air, maka diperlukan teknik budidaya udang vaname yang tepat dan harus ramah lingkungan, agar hasil produksi dapat optimal dan berkesinambungan. Karena dengan memelihara udang secara besar-besaran dikhawatirkan limbah dari proses budidaya akan mencemari lingkungan, dan akan mempengaruhi keberhasilan usaha budidaya tersebut. Salah satu teknik budidaya yang ramah lingkungan dan dapat diterapkan ialah budidaya pembesaran dengan teknologi supra intensif.
1.2    Tujuan dan Kegunaan
 Adapun tujuan dari penulisan akhir ini bertujuan untuk mengetahui tentang  budidaya udang vaname dengan teknologi supra intensif khususnya persiapan kolam di tambak budidaya udang vaname supra intensif.
Adapun manfaat dalam penyusunan tugas akhir  ini yaitu sebagai sumbagan informasi kepada masyarakat dan menambah wawasan mahasiswa serta acuan dalam usaha pembesaran udang vaname dengan teknologi supra intensif.


II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1       Klasifikasi     
            Menurut Boone (1931), udang vaname mempunyai klasifikasi dan tata nama sebagai berikut :
Kingdom         : Animalia
Filum               : Arthropoda
Subfilum         : Crustacea
Kelas               : Malacostraca
Subkelas          : Eumalacostraca
Superordo       : Eucarida
Ordo                : Decapoda
Subordo          : Dendrobrachiata
Famili              : Penaeidae
Genus              : Litopenaeus
Species            : Litopenaeus vannamei
2.2     Morfologi
            Menurut Wiban dan Sweeny (1991), vaname secara morfologis dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada disebut chepalotorax dan bagian belakang bagian perut disebut abdomen.  Pada bagian kepala terdapat mata majemuk yang bertangkai, rostrum, dimana gerigi rostrum pada bagian atas biasanya terdiri dari sembilan buah dan bagian bawah terdiri dari tiga buah dan dilengkapi pula dengan sepasang antenna yang panjang.  Pada bagian perut terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda) yang terletak di masing-masing ruas, sedangkan pada ruas keenam terdapat kaki renang yang telah berubah bentuk menjadi kipas (uropoda) yang ujungnya membentuk ujung ekor yang disebut dengan telson dan di bawahnya terdapat lubang dubur (anus). Alat kelamin jantan disebut petasma, yang terletak di antara kaki renang pertama, sedangkan alat kelamin udang betina disebut thelicum yang terletak antara kaki jalan dan kaki renang. Morfologi udang vaname serta bagian organ tubuhnya dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 1. Morfologi Udang Vaname
2.3 Habitat dan Siklus Hidup
Menurut Briggs dkk (2004), udang vaname hidup di habitat laut tropis dimana suhu air biasanya lebih dari 20°C sepanjang tahun. Udang vaname dewasa dan bertelur di laut terbuka, sedangkan pada stadia postlarva udang vaname akan bermigrasi ke pantai sampai pada stadia juvenil. Udang vaname merupakan bagian dari organisme laut. Beberapa udang laut menghabiskan siklus hidupnya di muara air payau. Perkembangan Siklus hidup larva udang vaname adalah dari pembuahan telur berkembang menjadi naupli, mysis, post larva, juvenil, dan terakhir berkembang menjadi udang dewasa. Masuk ke stadia larva, dari stadia naupli sampai pada stadia juvenil berpindah ke perairan yang lebih dangkal dimana terdapat banyak vegetasi yang dapat berfungsi sebagai tempat pemeliharaan. Setelah mencapai remaja, mereka kembali ke laut lepas menjadi dewasa dan siklus hidup berlanjut kembali.
Siklus hidup udang vaname sebelum ditebar di tambak yaitu stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia post larva. Pada stadia naupli larva berukuran 0,32-0,59 mm, sistim pencernaanya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur. Stadia zoea terjadi setelah larva ditebar pada bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm dan pada stadia ini benih mengalami 3 kali moulting. Pada stadia ini pula benih sudah bisa diberi makan yang berupa artemia. Pada stadia mysis, benih udang sudah menyerupai bentuk udang. Yang dicirikan dengan sudah terluhatnya ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Selanjutnya udang mencapai stadia post larva, dimana udang sudah menyerupai udang dewasa. Hitungan stadianya sudah menggunakan hitungan hari. Misalnya, PL1 berarti post larva berumur satu hari. Pada stadia ini udang sudah mulai bergerak aktif
2.4      Makan dan Kebiasaan Makan
Menurut Haliman dan Dian (2005), udang vaname termasuk golongan omnivora atau pemakan segala. Beberapa sumber pakan udang antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton, copepoda, polyhaeta, larva kerang dan lumut. Selanjutnya menjelaskan bahwa udang vaname mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang terdiri dari bulu-bulu halus (setae). Organ sensor ini terpusat pada ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antena, dan maxilliped.  Dengan bantuan sinyal kimiawi yang ditangkap, udang akan merespon untuk mendekati atau menjauhi sumber pakan.  Untuk mendekati sumber pakan, udang akan berenang menggunakan kaki jalan yang memiliki capit, kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Selanjutnya, pakan yang berukuran kecil masuk kedalam kerongkongan dan oesophagus. Bila pakan yang dikonsumsi terlalu besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu oleh maxilliped di dalam mulut.
2.5      Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan
Kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang vannamei adalah dua parameter tingkat keberhasilan proses budidaya. Karena dua faktor tersebut yang mempengaruhi tonase biomas yang dihasilkan dari proses budidaya. Kelangsungan hidup (survival rate) adalah banyaknya udang yang berhasil hidup hingga masa panen tiba. Yang paling mempengaruhi kelangsungan hidup udang yang dipelihara ialah kondisi lingkungan perairan tambak dan kondisi benur, terutama pada waktu penebaran benur dilakukan. Selain itu terdapatnya predator di tambak juga sangat mengancam kelangsungan hidup udang.(anonim, 2007) Maka sebelum ditebar kualitas air di tambak harus diperhatikan, diusahakan kondisi perairan tambak hampir sama dengan kondisi air pada bak pembenihan benur tersebut. Serta sebelum benur ditebar, hama predator maupun kompetitor harus dibasmi.
Pertumbuhan udang merupakan proses pertambahan panjang dan berat yang terjadi secara bertahap, dimana proses ini sangat dipengaruhi oleh frekwensi ganti kulit (moulting). Moulting akan terjadi secara teratur pada udang yang sehat. Bobot udang akan bertambah setiap kali mengalami moulting. Moulting dapat terjadi secara masal, yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berubah secara tiba-tiba, seperti terjadinya pasang – surut, pergantian air maupun jika terjadi perubahan suhu secara mendadak. Kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan udang. Udang akan tumbuh jika pakan yang dikonsumsi melebihi yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup dan pakan tersebut harus memiliki kandungan protein yang tinggi (minimal 35%). Kualitas air tambak yang baik akan mendukung perkembangan dan pertumbuhan udang vannamei secara optimal.(anonim, 2007) Oleh karena itu kualitas air harus dimonitor secara berkala.
2.6 Pemilihan Lokasi Budidaya
Menurut Buwono (2001), hal yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan lokasi areal pertambakan adalah jaringan pendukung dan penunjang usaha pertambakan.  Areal pertambakan hendaknya juga telah dirintis pendirian pabrik pakan udang, usaha pembenihan atau hatchery, cold storage (sebagai penampung hasil pasca panen udang) dan sarana transportasi seperti dekat dengan pelabuhan laut.
Menurut Buwono (2001), persyaratan lokasi tambak udang vaname secara teknis sebagai berikut:
1.      Terletak di daerah pantai dengan fluktuasi air pasang dan surut.
2.      Jenis tanah sebaiknya liat berpasir untuk menghindari kebocoran. Jenis tanah gambut atau masam biasanya menyebabkan air menjadi asam.
3.      Mempunyai sumber air tawar dengan debit atau kapasitas cukup besar sehingga kebutuhan air tawar cukup terpenuhi. Minimal 15 % air tambak harus terganti dengan air baru setiap hari.  Udang vaname tumbuh optimal pada salinitas 15-20 ppt.
Lokasi tambak harus memiliki green-belt yang berupa hutang bakau yang terletak di antara lokasi tambak dan pantai.
2.7       Konstruksi Tambak
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tambak dilihat dari segi konstruksinya.  Konstruksi tambak merupakan faktor penting karena kesalahan dan ketidak sempurnaan konstruksi tambak akan berdampak besar bagi pemeliharaan, investasi, bahkan keberhasilan usaha sendiri.  Konstruksi tersebut diantaranya pematang, saluran pemasukan air dan saluran pembuangan.  Perang utama dari pematang yaitu memisahkan atau menahan air dari satu petakan tambak dengan petakan tambak yang lain  (Amri, 2008).
2.8       Pemilihan Benih dan Penebaran
Benur merupakan faktor utama dalam penentuan keberhasilan.  Oleh karena itu, agar dalam budidaya tingkat keberhasilannya tinggi maka harus digunakan benur yang berkualitas  baik (Suprapto, 2005).
Menurut  Arifin dkk. (2009), penebaran benur dilakukan pada pagi hari pada saat suhu masih rendah, dengan tujuan untuk mengurangi stress akibat pemanenan, transportasi ataupun akibat dari perlakuan dengan formalin.  Penebaran dilakukan secara perlahan-lahan atau melalui proses adaptasi terhadap suhu dan salinitas.

2.9  Pemeliharaan
2.8.1.      Pengelolaan Kualitas Air Tambak
Menurut Sulistinarto (2008), dalam budidaya udang ditambak, dinamika kualitas air merupakan faktor yang penting untuk dijaga mengingat bahwa air merupakan media hidup sekaligus sebagai habitat penyedia makanan alami serta sebagai tempat terkumpulkannya limba sisa-sisa metabolisme dan sisa pakan.  Beberapa parameter kualitas air yang perlu diperhatikan serta dimonitoring untuk mengetahui dinamikanya adalah oksigen terlarut, salinitas, pH, suhu, alkalinitas, amoniak, nitrit, phosphat dan plankton.

a.       Oksigen
Oksigen terlarut merupakan farameter utama kualitas air yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang.  Pengaruh langsung oksigen adalah efektifitas penggunaan pakan serta proses-proses metabolism udang dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi kualitas air.  Tujuan pengukuran iini adalah untuk mengetahui perkembangan akan ketersediaan aksigen didalam air.  Pengukuran dilakukan didasar tambak dengan menggunakan alat oksigen meter.  (Sulistinarto, 2008)
b.      Salinitas
Menurut Sulistinarto (2008), salinitas merupakan parameter air yang penting bagi udang meskipun pengaruhnya tidak spontan seperti halnya oksigen.  Udang dapat hidup pada salinitas air antara 5-40 ppt. Salinitas yang optimal untuk pertumbuhan udang adalah 15-25 ppt.  Meskipun udang merupakan biota euryhaline namun pertumbuhannya akan terlambat apabila dipelihara pada salinitas lebih rendah atau lebih tinggi dari kadar optimal dalam waktu yang lama. Pengukuran salinitas air dilakukan satu kali sehari yaitu pada siang hari bersamaan dengan pengukuran oksigen (siang hari) dengan menggunakan refraktometer.



c.       Derajat Keasaman (pH)
Derajat Keasaman (pH) merupakan parameter air untuk mengetahui tingkat keasaman air tambak. pH ideal air tambak berkisar 7,5 - 8,5. Umumnya perubahan pH air dipengaruhi oleh sifat tanahnya. (Haliman dan Dian, 2005)
Menurut Sulistinarto (2008), dinamika pH air berpengaruh nyata terhadap nafsu makan udang dan pelarutan unsur-unsur hara. pH air yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dari pH optimum akan mempersulit pelarutan beberapa unsur hara penting untuk phytoplankton.

d.      Suhu air
Menurut Sulistinarto (2008), sama halnya dengan pH air, suhu air juga berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya reaksi kimiawi air. Suhu optimum bagi udang adalah 26-32 oC. Suhu air diukur dengan menggunakan termometer air raksa dan diukur 2 kali sehari bersamaan dengan pengukuran oksigen. Suhu air tambak tergantung cuaca dan berpengaruh langsung terhadap nafsu makan. pada suhu 26oC nafsu makan turun hingga 50 %. Suhu air terutama pada bagian dasar juga dipengaruhi oleh kepadatan partikel yang dapat diukur dari tingkat kecerahan air  dengan alat secchi disk. Kepadatan partikel dalam air termasuk plankton akan menghalangi penetrasi cahaya masuk ke dalam air.
e.       Amoniak
Menurut Sulistinarto (2008), amonia merupakan hasil ekskresi atau pengeluaran kotoran udang yang berbentuk gas. Selain itu, amonia bisa berasal dari sisa pakan yang tidak termakan oleh udang vaname sehingga larut dalam air. Amonia akan mengalami proses nitrifikasi dan denitrifikasi sesuai dengan siklus nitrogen dalam air sehingga menjadi nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) (Amri, 2006).
f.       Nitrit (NO2)
Senyawa ini juga merupakan hasil sampingan dari proses perombakan bahan organik. Dalam kondisi normal, konsentrasi nitrit sangat jarang mencapai konsentrasi mematikan udang.  Bila kadar oksigen dalam air tinggi, senyawa ini akan teroksidasi menjadi nitrat (NO3) yang dapat dimanfaatkan oleh phytoplankton sebagai nutrien. Senyawa ini diukur sebagai salah satu indikator kesuburan tambak. Kekurangan unsur N ini dapat disuplai dengan pemupukan (Urea). Sama halnya dengan senyawa amoniak, pengukuran senyawa ini menggunakan spectrofotometer atau test nitrit kit air (Sulistinarto, 2008).
2.8.2.      Menejemen Pakan
Menurut Haliman dan Dian (2005), pakan merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral.  Pakan juga merupakan faktor yang sangat penting dalam budidaya udang vaname karena menyerap 60 - 70% dari total biaya operasional. Kebutuhan pakan yang diberikan sesuai dengan kebutuhannya dan akan memacu pertumbuhan dan perkembangan udang vaname secara optimal sehingga produksinya bisa ditingkatkan.

a.             Pemberian Pakan
Pemberian pakan buatan dapat mulai dilakukan sejak benur ditebar hingga udang siap panen. Namun ukuran dan jumlah pakan yang diberikan harus dilakukan secara cermat dan tepat sehingga udang tidak mengalami kekurangan pakan (underfeeding) atau kelebihan pakan (overfeeding).  Underfeeding dapat meenyebabkan pertumbuhan udang menjadi lambat, ukuran udang tidak seragam, tubuh tampak keropos, dan timbul sifat kanibalisme. Sedangkan overfeeding dapat menyebabkan kualitas air menjadi jelek. (Suprapto, 2005)

b.            Frekuensi Pemberian Pakan
Menurut Suprapto (2005), seperti udang pada umumnya, vaname bersifat nokturnal atau aktif makan pada malam hari. Frekuensi pemberian pakan dapat diperkirakan dengan memperhitungkan sifat tersebut untuk mendapatkan nilai feed convertion ratio (FCR) atau nilai konversi yang ideal. Pakan yang dikonsumsi secara normal akan diproses selama 3-4 jam setelah pakan tersebut dikonsumsi, kemudian sisanya akan dibuang sebagai kotoran. Dengan pertimbangaan sifat biologis tersebut, pemberian pakan dapat dilakukan dengan interval tertentu. Frekuensi pemberian pakan pada udang kecil cukup 2-3 kali sehari karena masih mengandalkan pakan alami. Setelah terbiasa dengan pakan buatan berbentuk pellet, frekuensi pemberian pakan dapat ditambah menjadi 4-6 kali sehari.
c.             Anco
Anco adalah sejenis jaring yang berbentuk bujur sangkar atau lingkaran yang dipasang hingga kedalaman 10-20 cm dari dasar perairan dan ditempatkan pada beberapa tempat di petakan tambak. Anco merupakan alat bantu untuk memantau dan menduga kebutuhan pakan secara akurat (Suprapto, 2005).

2.8.3.      Hama dan Penyakit
Menurut Haliman dan Dian (2005), hama dapat dibedakan menjadi tiga golongan yakni predator (pemangsa), competitor (penyaing) dan penggangu.  Selanjutnya menjelaskan bahwa gangguan terhadap udang dapat disebabkan oleh organisme lain, pakan maupun kondisi lingkungan yang kurang menunjang, sehingga akan menimbulkan serangan penyakit. Serangan penyakit pada udang dapat disebabkan oleh interaksi yang tidak serasi antara udang, kondisi lingkungan dan organism penyakit.
Menurut Haliman dan Dian (2005), jenis – jenis predator, parasit, jamur dan virus yang sering menyerang udang vanname sebagai berikut :
a.       Predator
Predator adalah segala jenis hewan yang dapat memangsa udang vanname yang dipelihara dalam petakan tambak seperti ikan kakap, ikan mujair, ikan kerong-kerong dan lain-lain.
b.      Parasit
Parasit mudah menyerang udang vanname bila kualitas air tambak kurang baik, terutama pada kondisi kandungan bahan organik yang tinggi. Parasit biasanya menempel pada insang, kaki renang, dan kaki jalan.

c.       Bakteri dan Jamur
Bakteri dan jamur tumbuh optimal di perairan yang mengandung bahan organik yang tinggi (sekitar 50 ppm). Bakteri yang perlu diwaspadai dalam budidaya udang vanname yaitu bakteri vibrio yang menyebabkan penyakit vibriosis.  Lebih lanjut menjelaskan bahwa
Jamur (cendawan) sering dijumpai pada udang sakit. Infeksi cendawan lebih sering menyerang tubuh udang bagian luar, seperti carapaks dan insang bagian dalam, terutama stomack. Umumnya jamur yang menyerang sebagai infeksi sekunder dari serangan utama oleh bakteri atau patogen lain, seperti virus.

d.      Virus
Virus merupakan ancaman yang serius karena dapat menyebabkan kematian udang secara massal dalam waktu yang singkat.  Beberapa virus yang perlu diwaspadai pada budidaya udang vanname yaitu white spot syndrome virus (WSSV), Taura syndrome virus (TSV) dan Infection hypodermal hematopoetic necrosis virus (IHHNV). (Haliman dan Dian, 2005)

2.10.        Monitoring dan Sampling
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2006), pada masa pemeliharaan udang vaname dilakukan pengamatan dan monitoring mengenai kondisi dan kesehatan selama masa pemeliharaan di tambak.  Selanjutnya menjelaskan bahwa sampling dilakukan pada saat udang vaname berumur 30 hari dan alat yang paling baik untuk sampling dengan menggunakan jala lempar.  Waktu sampling udang sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari, mengingat pada waktu tersebut udang lebih aktif dan merata penyebarannya.

2.11.        Panen dan Pasca Panen
Menurut Haliman dan Dian (2005), panen merupakan akhir suatu periode budidaya udang vaname yang ditunggu-tunggu oleh petambak. Udang vaname dapat dipanen setelah berumur sekitar 120 hari dengan berat tubuh berkisar 16-20 gram/ekor. Selanjutnya menyatakan bahwa pasca panen bertujuan untuk menjamin mutu udang tetap tinggi dengan pertimbangan beberapa paktor, seperti udang tidak membahayakan kesehatan konsumen karena udang termasuk produk makanan yang mudah rusak (busuk).  Oleh karena itu, sejak dari panen hingga pasca panen harus dalam kondisi dingin.
III. METODOLOGI
3.1.            Waktu dan Tempat
Kegiatan Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa yang rencananya akan dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan April 2015, di PT. Esaputli Prakarsa Utama, Barru, Sulawesi Selatan.

3.2.            Metode Pengambilan Data
Metode yang dipakai dalam praktek kerja lapang ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Soehardjan, M. 1994). Deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara tepat. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, metode penelitian deskriptif juga banyak di lakukan oleh para penelitian karena dua alasan. Pertama, dari pengamatan empiris didapat bahwa sebagian besar laporan penelitian di lakukan dalam bentuk deskriptif. Kedua, metode deskriptif sangat berguna untuk mendapatkan variasi permasalahan yang berkaitan dengan bidang pendidikan maupun tingkah laku manusia.
3.2.1.      Data Primer
Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui wawancara dengan responden menggunakan kuisioner dan pengamatan (observasi) langsung di lapangan.
3.2.1.    Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dan disusun berdasarkan hasil wawancara dengan pembimbing lapangan (Teknisi), dosen pembimbing serta berbagai literatur pendukung yang berkaitan dengan tugas akhir ini melalui penelusuran pustaka.


3.2.2.      Analisa Data
a.         ABW (Average Body Weight) 
ABW adalah Berat rata rata udang/ekor.
Rumus = Berat timbangan udang (Gram) : Jumlah udang (ekor)
b.        ADG (Average Daily Gain)
ADG adalah Pertambahan berat harian.
Rumus = ABW II (Gram) - ABW I (Gram) : Periode sampling (Hari)
c.         SR (Survival Rate)
SR adalah Tingkat kelangsungan hidup.
Rumus = (Jumlah udang yang hidup : Jumlah tebar) × 100%.
d.        Biomassa
Biomassa adalah Jumlah total berat udang yang ada di tambak (kg)
Rumus = Pakan per hari (kg) x 100 %FR
e.         FR (Feeding Rate)
FR adalah Persentase pakan udang per Hari
Rumus = Pakan perhari (kg) x 100 Biomassa (kg)
g.         FCR (Feed Convertion Ratio)
FCR adalah Perbandingan antara jumlah pakan yang digunakan dengan berat udang yang dihasilkan.
Rumus = Jumlah pakan yang habis (Kg) : Biomassa udang (kg).
h.        Populasi
Populasi =  Jumlah udang  X Luas Lahan
    Lebar Jala




3.3.            Metode Kerja
3.1.1.      Alat dan Bahan
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan selama proses budidaya udang vaname.
No
Alat Dan Bahan
Kegunaan
Alat

1.
Tambak
Sebagai wadah budidaya
2.
Jala Lempar
Digunakan dalam pengambilan sampling
3.
Kincir
Digunakan untuk mengsuplai oksigen
4.
 Ember
Sebagai tempat pakan
5.
Anco
Digunakan untuk mengontrol pakan
6.
Do Meter
Digunakan  untuk mengukur oksigen terlarut dan suhu
7.
pH meter
Digunakan untuk mengukur pH air
8.
Handrepraktometer
Digunakan untuk mengukur salinitas
9.
Timbangan
Digunakan untuk menimbang pakan
10
Aerator
Digunakan untuk pengaktifan probiotik
11
Gayung
Digunakan untuk mengambil pakan
12
Keranjang / Basket
Digunakan untuk tempat udang
13
Pompa
Digunakan untuk pengisian dan pengeluaran air
14
Genset
Sumber tenaga listrik




Bahan

1
Udang Vaname
Organisme yang dibudidayakan
3
Probiotik
Untuk menguraikan bahan organik pada tambak
4
Pakan Buatan
Sebagai pakan udang dalam proses pemeliharaan
5
Air Tawar
Untuk membersihkan alat-alat yang telah digunakan
6
Air Laut
Sebagai media budidaya
7
Biofit
Suplemen untuk pertumbuhan udang
8
Efikor
Sebagai bahan prebiotik yang didorman kandungan bakteri bacillus 
9
Molase
Sebagai bahan prebiotik untuk penumbuhan bakteri yang dikultur


4.1              Prosedur Kerja

4.1.1        Persiapan Lahan
1.      Perbaikan Pematang
v  Alat dan bahan disiapkan
v  Pematang yang bocor digali terlebih dahulu dengan menggunakan saplak, kemudian ditambal dengan menggunakan lumpur dan campuran tanah yang keras.

2.      Pencucian Dasar Tambak
v  Alat dan bahan disiapkan
v  Pintu pengeluaran air di tutup dengan rapat dan pintu pemasukan air dibuka
v  Tambak diisi air sampai setinggi 50 cm, lalu pintu pemasukan ditutup
v  Air dalam tambak dibiarkan 1-2 hari dan pintu pengeluaran dibuka untuk membuang semua air yang ada dalam tambak

3.      Pengeringan
v  Pintu pengeluaran air dibuka sampai air yang terdapat dalam petakan tambak habis terkuras keluar, proses pengeringan dibantu oleh cahaya matahari.
v  Pengeringan dilakukan sampai tanah dasar tambak betul-betul kering dan tidak ada lagi air dalam petakan atau sampai tanah dasar tambak retak-retak.

4.      Pemberantasan Hama
v  Alat dan bahan disiapkan
v  Saponin (bungkil biji teh) dimasukkan ke dalam baskom, kemudian direndam air selama kurang lebih 4 jam
v  Saponin ditebar secara merata pada petakan tambak

5.      Pengapuran
v  Alat dan bahan disiapkan
v  Kapur dolomit dimasukkan ke dalam ember
v  Kapur ditebar secara merata pada petakan tambak dan bagian kemiringan pematang dengan mengikuti arah angin.

6.      Pemupukan
v  Alat dan bahan di siapkan
v  Semua jenis pupuk dimasukkan ke dalam baskom yaitu pupuk NPK dengan dosis 5 ppm, formulasi urea dan TSP masing-masing dengan dosis 3-5 ppm dan 2-3 ppm, Kemudian aduk secara merata.
v  Pupuk ditebar secara merata pada petakan tambak.

7.      Pengisian Air
v  Pintu pengeluaran ditutup dengan rapat
v  Pintu pemasukan air dibuka sampai air yang masuk ke dalam petak tambak mencapai 120-150 cm.  Kemudian pintu pemasukan air ditutup.

8.      Penumbuhan Pakan Alami
a.       Pembuatan Permentasi
v  Alat dan bahan di siapkan
v  Semua bahan ditimbang sesuai takaran, kemudian masukkan semua bahan kedalam bak fiber
v  Air laut dimasukkan secara perlahan-lahan dengan menggunakan ember, berikan aerasi agar fermentasi tersebut cepat bereaksi
v  Fermentasi dibiarkan selama ± 6 jam
v  Hasil fermentasi menunjukkan warna kuning kecoklatan dan mengeluarkan bau kecut.
v  Fermentasi siap di tebar pada petakan tambak

9.      Pemasangan Jembatan Pakan Dan Anco
v  Jembatan yang terbuat dari papan dipasang pada bagian atas penyangga, kemudian jembatan dipaku pada balok penyangga.
v  Anco yang telah dibuat diikat pada bagian ujung jembatan.

10.  Pemasangan Kincir
v  Kincir diturungkan ke dalam petakan tambak satu persatu
v  Jarak antara kincir dengan pematang adalah 7 meter
v  Kincir dipasang dengan searah jarum jam
v  Kabel listrik dipasang pada sakelar dan disanbungkan dengan kincir.

4.1.2        Pemilihan Benur Dan Penebaran
1.      Benur yang dipilih adalah benur yang berkualitas dengan ukuran yang seragam, minimal (PL 12), gerakan lincah, tahan terhadap parasit, warna tubuh seragam dan necrosis tidak ada.
2.      Kantong benur diambil dan diapung-apungkan di atas air tambak ± 30 menit sampai suhu air tambak dengan suhu air yang ada pada kantong benur kurang lebih sama.
3.      Kantong tersebut dibuka dan diisi air tambak secara perlahan-lahan secara terus menerus sampai salinitas air dalam kantong kurang lebih sama dengan salinitas air tambak.
4.      Apabila benur telah beradaptasi, benur dilepaskan dengan cara memiringkan kantong dan membiarkan benur keluar dengan sendirinya.
5.      Setelah semua benur ditebar maka kincir dioperasikan
6.      Penebaran dilakukan pada pagi atau sore hari


4.1.3        Pemeliharaan
1.      Manajemen Kualitas Air
a.       Pergantian Air
v  Pintu pengeluaran air dibuka untuk mengeluarkan sejumlah air sesuai rencana penggantian
v  Pintu pengeluaran ditutp rapat
v  Pintu pemasukan air dibuka untuk mengalirkan sejumlah air ke petakan tambak sesuai rencana penggantian
v  Pintu pemasukan air ditutup rapat

b.      Pengukuran Kualitas Air
v  Alat dan bahan disiapkan
v  Kecerahan air diukur dengan menggunakan secchi disk dengan cara menurungkan ke dalam air secara perlahan-lahan sampai bundaran warna putih tidak kelihatan. Kemudian catat skala yang tertera pada tiang secchi disk tersebut.
v  Do dan suhu diukur dengan DO meter di aktifkan dengan menekan tombol ON. Bagian sensor dimasukkan ke dalam air petakan ± 10 cm dari dasar tambak, kemudian angka yang tertera pada DO meter di catat.
v  pH di ukur dengan cara pH meter diaktifkan dengan menekan tombol ON.  Sensor pH yang ada pada ujung pH meter dicelupkan pada permukaan air petakan, kemudian angka yang tertera pada layar pH meter dicatat.
v  Salinitas diukur dengan cara bagian sensor Handrefraktometer berupa layar ditetesi air tambak kemudian ditutup. Nilai pada layar Handrefraktometer dapat dilihat dibawah sinar matahari, kemudian hasilnya dicatat

2.      Manajemen Pakan
1.      Pemberian pakan
v  Alat dan bahan disiapkan
v  Pakan ditimbang sesuai dosis
v  Pakan yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam ember yang telah disediakan
v  Pakan ditebar secara merata searah dengan jarum jam

2.      Pemberian Pakan dan Kontrol Pada Anco
v  Alat dan bahan disiapkan
v  1 % dari pakan diambil dari setiap pemberian pakan, kemudian di masukkan ke dalam anco.
v  Anco diturungkan ke dalam petakan tambak secara perlahan-lahan agar pakan yang ada di dalam anco tidak terhambur.
v  Anco dikontrol sesuai dengan jam kontrol yang telah ditentukan dan di angkat secara perlahan-lahan
v  Anco diangkat ±10 cm dari bawah permukaan air, kemudian perhatikan kondisi pakan dan kondisi udang yang ada pada anco
v  Anco yang telah diangkat dibersihkan dan diletakkan pada jembatan feeding.

3.      Sampling
v  Alat dan bahan disiapkan
v  Titik sampling ditentukan
v  Jala yang dilempar ke dalam petakan, diusahakan selebar mungkin.
v  Jala ditarik dan udang yang tertangkap diambil lalu dimasukkan ke dalam ember
v  Udang yang ada dalam ember ditimbang dan di catat beratnya.
v  Sampling dilakukan pada pagi hari.

4.1.4        Panen dan Pasca Panen
1.      Panen
v  Alat dan bahan disisapkan
v  Air petakan dikeluarkan kurang lebih 50% sebelum panen dimulai.
v  Jaring  kondom dipasang pada bagian pintu pengeluaran air dengan rapat lalu filter pintu pengeluaran di buka secara perlahan-lahan dan dilakukan pengeluaran air sampai udang hampir habis terikut aliran air dan masuk ke jarring kondom
v  Udang yang masih tersisa pada petakan tambak ditangkap dengan menggunakan tangan dan selanjutnya digabung dengan udang yang ditangkap dengan jariing kondom.
v  Udang yang masuk ke dalam jaring kondom dimasukkan kedalam basket sampai penuh dan udang yang belum sempat tersaring ditangkap dengan menggunakan seser.
v  Basket penuh diangkut dengan menggunakan troli menuju prosesing.

2.      Pacsa Panen
v  Alat dan bahan disiapkan
v  Udang hasil panen ditimbang dan dicatat
v  Setelah ditimbang udang tersebut dibilas dengan menggunakan air tawar
v  Udang yang telah dibilas, dimasukkan ke dalam basket lalu disortir dan diberikan kepada pembeli untuk diolah lebih lanjut.





           



3.4  Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Jadwal Kegiatan Pengalaman Kerja Praktik Mahasiswa (PKPM) pada pembesaran Udang Vannamei di tambak supra intensif PT. Esaputli Prakarsa Utama, Barru.
            Tabel.2 Jadwal pelaksanaan kegiatan Penagalaman Praktik Kerja Mahasiswa (PKPM).
No
Kegiatan
Bulan

Januri
Februari
Maret
April
Mei
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
Penyusunan Proposal




















2
Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan




















3
Konsultasi hasil paktek lapangan




















4
Penyusunan laporan






















BAB IV
PENUTUP
Demikian usulan proposal ini kami ajukan untuk dijadikan sebagai acuan bahan pemikiran dalam kegiatan  Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa dengan mengharap pertimbangan serta kerjasama yang solid demi kesuksesan dan kelancaran PKPM ini.
Akhirnya dengan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa yang melimpahkan Rahmat dan HidayahNya kepada kita semua, penulis akhiri usulan proposal PKPM ini, mudah- mudahan mampu memberikan manfaat bagi kita semua,.Amin…!

 Billahi taufik wal hidayah
Wassalamu alaikum Wr Wb.
Mandalle, 17 Januari 2015









DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Váname Secara Intensif. Jakarta
Matsudarmo, B dan B.S. Ranoemahardjo. 1980. Biologi Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian.
Standar Prosedur Operasional Pembesaran Udang Vannamei. 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
            Diakses pada tanggal 27 November 2014

Wiban dan Sweeny, 1991. Morfologi Udang Vanmae (Litopenaeus vannamei). Ditjen Perikanan Departemen Pertania, Jakarta.
Standar Prosedur Operasional Pembesaran Udang Vannamei. 2007. Departemen   
Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

Arifin, dkk., 2009. Teknik Produksi Udang Váname (Litopenaeus vannamei)   Secara Sederhana, Jakarta

Buwono, D. W., 2001. Tambak Udang Windu Sistem Pengelolaan Berpola Intensif. Kanisius, Yogyakarta
Haliman, R. W, dan Dian, A. S., 2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya, Jakarta.
Adijaya. D. S. dan Widodo R. H., 2005. Budidaya Udang Vannamei, Situbondo.

Boone. 1931. Litopenaeus vannamei. http://www.itis.gov
Sulistinarto. D., 2008. Manajemen Pemeliharaan Budidaya Udang Berwawasan Lingkungan, Balai Besar Budidaya Air Payau, Jepara.
Amri. 2008. Budidaya Udang Vaname secara Intensif. Semi Intensif dan Tradisional, Rahasia Suksesusaha perikanan  PT.Granmedia puataka utama. Jakarta
Briggs, dkk. 2004. Introductions and Movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and The Pacific. FAO. Bangkok
Suprapto, 2005. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Bandar Lampung.

Soehardjan, M. 1994. Fungsi dan struktur artikel tinjauan (Review artikel).  Makalah pada seminar intern Puslitbangtri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar