I. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Udang adalah
komoditas andalan dari sektor perikanan yang merupakan salah satu penghasil
devisa bagi negara. Permintaan pasar domestik maupun dari manca negara
cenderung mengalami peningkatan, sehingga usaha membudidayakan udang memiliki
prospek yang cerah untuk dijadikan bisnis yang menguntungkan. Menurut Kusnendar,
Indonesia pernah menikmati masa keemasan dalam bidang budidaya udang, yaitu
pada waktu udang windu masih mudah untuk dipelihara, sekitar tahun 80an hingga
pada awal 90an. Namun pada pertengahan tahun 90an dunia pertambakan diguncang
prahara yang memilukan. Hampir semua petambak di seluruh tanah air bahkan juga
petambak udang di luar negeri mengalami kerugian yang tidak sedikit.
Dikarenakan udang windu yang dipeliharanya mati secara masal akibat serangan
virus white spot yang mewabah.
Pemerintah dan
petambak mencari solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut, salah satunya
dengan memelihara spesies baru yaitu udang vaname (Litopenaeus vannamei).
Udang vaname masuk ke Indonesia pada tahun 2001. Pada Mei 2002, pemerintah
memberikan izin kepada dua perusahaan swasta untuk mengimpor induk udang vaname
sebanyak 2000 ekor dan benur sebanyak lima juta ekor. Induk dan benur tersebut
kemudian dikembangbiakan oleh hatchery
pemula. Sekarang usaha tersebut sudah dikomersialkan dan berkembang pesat
karena peminat udang vaname semakin menigkat. Udang vaname di kalangan petambak
semakin popular, seiring dengan menurunya produksi udang windu akibat kondisi
lngkungan yang buruk. Udang windu sangat rentan terhadap serangan penyakit, itu
berbeda dengan udang vannamei yang lebih tahan terhadap serangan penyakit.
Selain itu udang vannamei juga lebih tahan terhadap goncangan kondisi
lingkungan yang ekstrim, bahkan sekarang sudah ada yang melakukan uji coba
membesarkan udang vaname pada perairan yang kadar garamnya 0 ppm, yang kondisi
lingkunganya sangat jauh berbeda dengan habitat aslinya.
Dengan
semakin bertambah banyaknya pengusaha tambak di tanah air, maka diperlukan
teknik budidaya udang vaname yang tepat dan harus ramah lingkungan, agar hasil
produksi dapat optimal dan berkesinambungan. Karena dengan memelihara udang
secara besar-besaran dikhawatirkan limbah dari proses budidaya akan mencemari
lingkungan, dan akan mempengaruhi keberhasilan usaha budidaya tersebut. Salah
satu teknik budidaya yang ramah lingkungan dan dapat diterapkan ialah budidaya
pembesaran dengan teknologi supra intensif.
1.2
Tujuan
dan Kegunaan
Adapun tujuan dari penulisan akhir ini
bertujuan untuk mengetahui tentang
budidaya udang vaname dengan teknologi supra intensif khususnya
persiapan kolam di tambak budidaya udang vaname supra intensif.
Adapun
manfaat dalam penyusunan tugas akhir ini
yaitu sebagai sumbagan informasi kepada masyarakat dan menambah wawasan
mahasiswa serta acuan dalam usaha pembesaran udang vaname dengan teknologi
supra intensif.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi
Menurut Boone (1931),
udang vaname mempunyai klasifikasi dan tata nama sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Subkelas
: Eumalacostraca
Superordo
: Eucarida
Ordo
: Decapoda
Subordo
: Dendrobrachiata
Famili
: Penaeidae
Genus
: Litopenaeus
Species
: Litopenaeus vannamei
2.2 Morfologi
Menurut Wiban dan
Sweeny (1991), vaname secara morfologis dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu
bagian kepala yang menyatu dengan dada disebut chepalotorax dan bagian belakang
bagian perut disebut abdomen. Pada bagian
kepala terdapat mata majemuk yang bertangkai, rostrum, dimana gerigi rostrum
pada bagian atas biasanya terdiri dari sembilan buah dan bagian bawah terdiri
dari tiga buah dan dilengkapi pula dengan sepasang antenna yang panjang. Pada bagian perut terdapat lima pasang kaki
renang (pleopoda) yang terletak di masing-masing ruas, sedangkan pada ruas
keenam terdapat kaki renang yang telah berubah bentuk menjadi kipas (uropoda)
yang ujungnya membentuk ujung ekor yang disebut dengan telson dan di bawahnya
terdapat lubang dubur (anus). Alat kelamin jantan disebut petasma, yang
terletak di antara kaki renang pertama, sedangkan alat kelamin udang betina
disebut thelicum yang terletak antara kaki jalan dan kaki renang. Morfologi
udang vaname serta bagian organ tubuhnya dapat dilihat pada gambar berikut ini
:
Gambar 1. Morfologi Udang Vaname
2.3 Habitat
dan Siklus Hidup
Menurut
Briggs dkk (2004), udang vaname hidup di habitat laut tropis dimana suhu air
biasanya lebih dari 20°C sepanjang tahun. Udang vaname dewasa dan bertelur di
laut terbuka, sedangkan pada stadia postlarva udang vaname akan bermigrasi ke
pantai sampai pada stadia juvenil. Udang vaname merupakan bagian dari organisme
laut. Beberapa udang laut menghabiskan siklus hidupnya di muara air payau.
Perkembangan Siklus hidup larva udang vaname adalah dari pembuahan telur
berkembang menjadi naupli, mysis, post larva, juvenil, dan terakhir berkembang
menjadi udang dewasa. Masuk ke stadia larva, dari stadia naupli sampai pada
stadia juvenil berpindah ke perairan yang lebih dangkal dimana terdapat banyak
vegetasi yang dapat berfungsi sebagai tempat pemeliharaan. Setelah mencapai
remaja, mereka kembali ke laut lepas menjadi dewasa dan siklus hidup berlanjut
kembali.
Siklus hidup udang vaname sebelum ditebar di tambak
yaitu stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia post larva. Pada
stadia naupli larva berukuran 0,32-0,59 mm, sistim pencernaanya belum sempurna
dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur. Stadia zoea terjadi
setelah larva ditebar pada bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva sudah
berukuran 1,05-3,30 mm dan pada stadia ini benih mengalami 3 kali moulting.
Pada stadia ini pula benih sudah bisa diberi makan yang berupa artemia. Pada
stadia mysis, benih udang sudah menyerupai bentuk udang. Yang dicirikan dengan
sudah terluhatnya ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Selanjutnya udang
mencapai stadia post larva, dimana udang sudah menyerupai udang dewasa.
Hitungan stadianya sudah menggunakan hitungan hari. Misalnya, PL1 berarti post
larva berumur satu hari. Pada stadia ini udang sudah mulai bergerak aktif
2.4 Makan dan Kebiasaan Makan
Menurut Haliman dan Dian (2005), udang vaname termasuk
golongan omnivora atau pemakan segala. Beberapa sumber pakan udang antara lain
udang kecil (rebon), fitoplankton, copepoda, polyhaeta, larva kerang dan lumut. Selanjutnya menjelaskan bahwa
udang vaname mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal kimiawi
berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang terdiri dari bulu-bulu halus (setae). Organ sensor ini terpusat pada
ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antena, dan maxilliped. Dengan bantuan sinyal kimiawi yang ditangkap,
udang akan merespon untuk mendekati atau menjauhi sumber pakan. Untuk mendekati sumber pakan, udang akan
berenang menggunakan kaki jalan yang memiliki capit, kemudian dimasukkan ke
dalam mulut. Selanjutnya, pakan yang berukuran kecil masuk kedalam kerongkongan
dan oesophagus. Bila pakan yang dikonsumsi terlalu besar, akan dicerna secara
kimiawi terlebih dahulu oleh maxilliped di dalam mulut.
2.5 Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan
Kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang vannamei
adalah dua parameter tingkat keberhasilan proses budidaya. Karena dua faktor
tersebut yang mempengaruhi tonase biomas yang dihasilkan dari proses budidaya. Kelangsungan
hidup (survival rate) adalah banyaknya udang yang berhasil hidup hingga masa
panen tiba. Yang paling mempengaruhi kelangsungan hidup udang yang dipelihara
ialah kondisi lingkungan perairan tambak dan kondisi benur, terutama pada waktu
penebaran benur dilakukan. Selain itu terdapatnya predator di tambak juga
sangat mengancam kelangsungan hidup udang.(anonim, 2007) Maka sebelum ditebar
kualitas air di tambak harus diperhatikan, diusahakan kondisi perairan tambak
hampir sama dengan kondisi air pada bak pembenihan benur tersebut. Serta
sebelum benur ditebar, hama predator maupun kompetitor harus dibasmi.
Pertumbuhan udang merupakan proses pertambahan panjang
dan berat yang terjadi secara bertahap, dimana proses ini sangat dipengaruhi
oleh frekwensi ganti kulit (moulting). Moulting akan terjadi secara teratur
pada udang yang sehat. Bobot udang akan bertambah setiap kali mengalami
moulting. Moulting dapat terjadi secara masal, yang dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan yang berubah secara tiba-tiba, seperti terjadinya pasang – surut,
pergantian air maupun jika terjadi perubahan suhu secara mendadak. Kualitas dan
kuantitas pakan yang diberikan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan udang.
Udang akan tumbuh jika pakan yang dikonsumsi melebihi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan hidup dan pakan tersebut harus memiliki kandungan protein yang
tinggi (minimal 35%). Kualitas air tambak yang baik akan mendukung perkembangan
dan pertumbuhan udang vannamei secara optimal.(anonim, 2007) Oleh karena itu
kualitas air harus dimonitor secara berkala.
2.6
Pemilihan Lokasi Budidaya
Menurut Buwono (2001),
hal yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan lokasi areal pertambakan adalah
jaringan pendukung dan penunjang usaha pertambakan. Areal
pertambakan hendaknya juga telah dirintis pendirian pabrik pakan udang, usaha
pembenihan atau hatchery, cold storage (sebagai penampung hasil pasca panen
udang) dan sarana transportasi seperti dekat dengan pelabuhan laut.
Menurut Buwono (2001),
persyaratan lokasi tambak udang vaname secara teknis sebagai berikut:
1. Terletak
di daerah pantai dengan fluktuasi air pasang dan surut.
2. Jenis
tanah sebaiknya liat berpasir untuk menghindari kebocoran. Jenis tanah gambut
atau masam biasanya menyebabkan air menjadi asam.
3. Mempunyai
sumber air tawar dengan debit atau kapasitas cukup besar sehingga kebutuhan air
tawar cukup terpenuhi. Minimal 15 % air tambak harus terganti dengan air baru
setiap hari. Udang vaname tumbuh optimal
pada salinitas 15-20 ppt.
Lokasi
tambak harus memiliki green-belt yang
berupa hutang bakau yang terletak di antara lokasi tambak dan pantai.
2.7 Konstruksi Tambak
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tambak dilihat dari segi
konstruksinya. Konstruksi tambak
merupakan faktor penting karena kesalahan dan ketidak sempurnaan konstruksi
tambak akan berdampak besar bagi pemeliharaan, investasi, bahkan keberhasilan
usaha sendiri. Konstruksi tersebut
diantaranya pematang, saluran pemasukan air dan saluran pembuangan. Perang utama dari pematang yaitu memisahkan
atau menahan air dari satu petakan tambak dengan petakan tambak yang lain (Amri, 2008).
2.8 Pemilihan
Benih dan Penebaran
Benur merupakan faktor
utama dalam penentuan keberhasilan. Oleh
karena itu, agar dalam budidaya tingkat keberhasilannya tinggi maka harus
digunakan benur yang berkualitas baik
(Suprapto, 2005).
Menurut Arifin dkk.
(2009), penebaran benur dilakukan pada pagi hari pada saat suhu masih rendah,
dengan tujuan untuk mengurangi stress akibat pemanenan, transportasi ataupun
akibat dari perlakuan dengan formalin. Penebaran dilakukan secara
perlahan-lahan atau melalui proses adaptasi terhadap suhu dan salinitas.
2.9 Pemeliharaan
2.8.1.
Pengelolaan Kualitas Air Tambak
Menurut Sulistinarto
(2008), dalam budidaya udang ditambak, dinamika kualitas air merupakan faktor
yang penting untuk dijaga mengingat bahwa air merupakan media hidup sekaligus
sebagai habitat penyedia makanan alami serta sebagai tempat terkumpulkannya
limba sisa-sisa metabolisme dan sisa pakan.
Beberapa parameter kualitas air yang perlu diperhatikan serta
dimonitoring untuk mengetahui dinamikanya adalah oksigen terlarut, salinitas,
pH, suhu, alkalinitas, amoniak, nitrit, phosphat dan plankton.
a. Oksigen
Oksigen terlarut
merupakan farameter utama kualitas air yang sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang.
Pengaruh langsung oksigen adalah efektifitas penggunaan pakan serta
proses-proses metabolism udang dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap
kondisi kualitas air. Tujuan pengukuran
iini adalah untuk mengetahui perkembangan akan ketersediaan aksigen didalam
air. Pengukuran dilakukan didasar tambak
dengan menggunakan alat oksigen meter. (Sulistinarto, 2008)
b. Salinitas
Menurut Sulistinarto (2008), salinitas merupakan parameter
air yang penting bagi udang meskipun pengaruhnya tidak spontan seperti halnya
oksigen. Udang dapat hidup pada
salinitas air antara 5-40 ppt. Salinitas yang optimal untuk pertumbuhan udang
adalah 15-25 ppt. Meskipun udang
merupakan biota euryhaline namun pertumbuhannya akan terlambat apabila
dipelihara pada salinitas lebih rendah atau lebih tinggi dari kadar optimal
dalam waktu yang lama. Pengukuran salinitas air dilakukan satu kali sehari
yaitu pada siang hari bersamaan dengan pengukuran oksigen (siang hari) dengan menggunakan
refraktometer.
c. Derajat
Keasaman (pH)
Derajat Keasaman (pH) merupakan parameter air untuk mengetahui
tingkat keasaman air tambak. pH ideal air tambak berkisar 7,5 - 8,5. Umumnya
perubahan pH air dipengaruhi oleh sifat tanahnya. (Haliman dan Dian, 2005)
Menurut Sulistinarto (2008), dinamika pH air berpengaruh nyata terhadap nafsu makan udang dan
pelarutan unsur-unsur hara. pH air yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dari
pH optimum akan mempersulit pelarutan beberapa unsur hara penting untuk phytoplankton.
d. Suhu
air
Menurut Sulistinarto (2008), sama halnya
dengan pH air, suhu air juga berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya reaksi
kimiawi air. Suhu optimum bagi udang adalah 26-32 oC. Suhu air
diukur dengan menggunakan termometer air raksa dan diukur 2 kali sehari
bersamaan dengan pengukuran oksigen. Suhu air tambak tergantung cuaca dan
berpengaruh langsung terhadap nafsu makan. pada suhu 26oC nafsu
makan turun hingga 50 %. Suhu air terutama pada bagian dasar juga dipengaruhi
oleh kepadatan partikel yang dapat diukur dari tingkat kecerahan air dengan alat secchi disk. Kepadatan partikel
dalam air termasuk plankton akan menghalangi penetrasi cahaya masuk ke dalam
air.
e. Amoniak
Menurut Sulistinarto (2008), amonia merupakan
hasil ekskresi atau pengeluaran kotoran udang yang berbentuk gas. Selain itu,
amonia bisa berasal dari sisa pakan yang tidak termakan oleh udang vaname
sehingga larut dalam air. Amonia akan mengalami proses nitrifikasi dan
denitrifikasi sesuai dengan siklus nitrogen dalam air sehingga menjadi nitrit
(NO2) dan nitrat (NO3) (Amri, 2006).
f. Nitrit
(NO2)
Senyawa ini juga merupakan hasil sampingan
dari proses perombakan bahan organik. Dalam kondisi normal, konsentrasi nitrit
sangat jarang mencapai konsentrasi mematikan udang. Bila kadar oksigen dalam air tinggi, senyawa
ini akan teroksidasi menjadi nitrat (NO3) yang dapat dimanfaatkan
oleh phytoplankton sebagai nutrien. Senyawa ini diukur sebagai salah satu
indikator kesuburan tambak. Kekurangan unsur N ini dapat disuplai dengan pemupukan
(Urea). Sama halnya dengan senyawa amoniak, pengukuran senyawa ini menggunakan
spectrofotometer atau test nitrit kit air (Sulistinarto, 2008).
2.8.2.
Menejemen Pakan
Menurut Haliman dan Dian (2005), pakan merupakan sumber protein, lemak,
karbohidrat, vitamin, dan mineral. Pakan juga merupakan faktor yang sangat
penting dalam budidaya udang vaname karena menyerap 60 - 70% dari total biaya
operasional. Kebutuhan pakan yang diberikan sesuai dengan kebutuhannya dan akan
memacu pertumbuhan dan perkembangan udang vaname secara optimal sehingga
produksinya bisa ditingkatkan.
a.
Pemberian Pakan
Pemberian pakan buatan
dapat mulai dilakukan sejak benur ditebar hingga udang siap panen. Namun ukuran
dan jumlah pakan yang diberikan harus dilakukan secara cermat dan tepat
sehingga udang tidak mengalami kekurangan pakan (underfeeding) atau kelebihan pakan (overfeeding). Underfeeding dapat meenyebabkan
pertumbuhan udang menjadi lambat, ukuran udang tidak seragam, tubuh tampak
keropos, dan timbul sifat kanibalisme. Sedangkan overfeeding dapat menyebabkan kualitas air menjadi jelek.
(Suprapto, 2005)
b.
Frekuensi
Pemberian Pakan
Menurut
Suprapto (2005), seperti udang pada umumnya, vaname bersifat nokturnal atau
aktif makan pada malam hari. Frekuensi pemberian pakan dapat diperkirakan
dengan memperhitungkan sifat tersebut untuk mendapatkan nilai feed convertion ratio (FCR) atau nilai
konversi yang ideal. Pakan yang dikonsumsi secara normal akan diproses selama
3-4 jam setelah pakan tersebut dikonsumsi, kemudian sisanya akan dibuang
sebagai kotoran. Dengan
pertimbangaan sifat biologis tersebut, pemberian pakan dapat dilakukan dengan
interval tertentu. Frekuensi
pemberian pakan pada udang kecil cukup 2-3 kali sehari karena masih
mengandalkan pakan alami. Setelah terbiasa dengan pakan buatan berbentuk
pellet, frekuensi pemberian pakan dapat ditambah menjadi 4-6 kali sehari.
c.
Anco
Anco adalah sejenis
jaring yang berbentuk bujur sangkar atau lingkaran yang dipasang hingga
kedalaman 10-20 cm dari dasar perairan dan ditempatkan pada beberapa tempat di
petakan tambak. Anco merupakan alat bantu untuk memantau dan menduga kebutuhan
pakan secara akurat (Suprapto, 2005).
2.8.3.
Hama dan Penyakit
Menurut Haliman dan Dian
(2005), hama dapat dibedakan menjadi tiga golongan yakni predator (pemangsa),
competitor (penyaing) dan penggangu.
Selanjutnya menjelaskan bahwa gangguan terhadap udang dapat disebabkan
oleh organisme lain, pakan maupun kondisi lingkungan yang kurang menunjang,
sehingga akan menimbulkan serangan penyakit. Serangan penyakit pada udang dapat
disebabkan oleh interaksi yang tidak serasi antara udang, kondisi lingkungan
dan organism penyakit.
Menurut
Haliman dan Dian (2005), jenis – jenis predator, parasit, jamur dan virus yang
sering menyerang udang vanname sebagai berikut :
a. Predator
Predator
adalah segala jenis hewan yang dapat memangsa udang vanname yang dipelihara
dalam petakan tambak seperti ikan kakap, ikan mujair, ikan kerong-kerong dan
lain-lain.
b. Parasit
Parasit mudah menyerang
udang vanname bila kualitas air tambak kurang baik, terutama pada kondisi
kandungan bahan organik yang tinggi. Parasit biasanya menempel pada insang,
kaki renang, dan kaki jalan.
c. Bakteri
dan Jamur
Bakteri dan jamur
tumbuh optimal di perairan yang mengandung bahan organik yang tinggi (sekitar
50 ppm). Bakteri yang perlu diwaspadai dalam budidaya udang vanname yaitu
bakteri vibrio yang menyebabkan penyakit vibriosis. Lebih lanjut menjelaskan bahwa
Jamur (cendawan) sering
dijumpai pada udang sakit. Infeksi cendawan lebih sering menyerang tubuh udang
bagian luar, seperti carapaks dan insang bagian dalam, terutama stomack.
Umumnya jamur yang menyerang sebagai infeksi sekunder dari serangan utama oleh bakteri
atau patogen lain, seperti virus.
d. Virus
Virus merupakan ancaman
yang serius karena dapat menyebabkan kematian udang secara massal dalam waktu
yang singkat. Beberapa virus yang perlu
diwaspadai pada budidaya udang vanname yaitu white spot syndrome virus (WSSV), Taura syndrome virus (TSV) dan Infection
hypodermal hematopoetic necrosis virus (IHHNV). (Haliman dan Dian, 2005)
2.10.
Monitoring
dan Sampling
Menurut Departemen
Kelautan dan Perikanan (2006), pada masa pemeliharaan udang vaname dilakukan pengamatan
dan monitoring mengenai kondisi dan kesehatan selama masa pemeliharaan di
tambak. Selanjutnya menjelaskan bahwa
sampling dilakukan pada saat udang vaname berumur 30 hari dan alat yang paling
baik untuk sampling dengan menggunakan jala lempar. Waktu sampling udang sebaiknya dilakukan pada
pagi atau sore hari, mengingat pada waktu tersebut udang lebih aktif dan merata
penyebarannya.
2.11.
Panen
dan Pasca Panen
Menurut Haliman dan
Dian (2005), panen merupakan akhir suatu periode budidaya udang vaname yang
ditunggu-tunggu oleh petambak. Udang vaname dapat dipanen setelah berumur
sekitar 120 hari dengan berat tubuh berkisar 16-20 gram/ekor. Selanjutnya
menyatakan bahwa pasca panen bertujuan untuk menjamin mutu udang tetap tinggi
dengan pertimbangan beberapa paktor, seperti udang tidak membahayakan kesehatan
konsumen karena udang termasuk produk makanan yang mudah rusak (busuk). Oleh karena itu, sejak dari panen hingga
pasca panen harus dalam kondisi dingin.
III.
METODOLOGI
3.1.
Waktu dan
Tempat
Kegiatan Pengalaman
Kerja Praktek Mahasiswa yang rencananya akan dilaksanakan pada bulan Februari
sampai bulan April 2015, di PT. Esaputli Prakarsa Utama, Barru, Sulawesi Selatan.
3.2.
Metode
Pengambilan Data
Metode yang
dipakai dalam praktek kerja lapang ini adalah metode deskriptif. Metode
deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan
menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Soehardjan, M.
1994). Deskriptif
pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara
sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara tepat.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini, metode penelitian deskriptif juga banyak di
lakukan oleh para penelitian karena dua alasan. Pertama, dari pengamatan
empiris didapat bahwa sebagian besar laporan penelitian di lakukan dalam bentuk
deskriptif. Kedua, metode deskriptif sangat berguna untuk mendapatkan variasi
permasalahan yang berkaitan dengan bidang pendidikan maupun tingkah laku
manusia.
3.2.1. Data
Primer
Data
primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui wawancara
dengan responden menggunakan kuisioner dan pengamatan (observasi) langsung di
lapangan.
3.2.1. Data Sekunder
Data sekunder
didapatkan dan disusun berdasarkan hasil wawancara dengan pembimbing lapangan (Teknisi),
dosen pembimbing serta berbagai literatur pendukung yang berkaitan dengan tugas
akhir ini melalui penelusuran pustaka.
3.2.2.
Analisa Data
a.
ABW
(Average Body Weight)
ABW
adalah Berat rata rata udang/ekor.
Rumus =
Berat timbangan udang (Gram) : Jumlah udang (ekor)
b.
ADG
(Average Daily Gain)
ADG
adalah Pertambahan berat harian.
Rumus =
ABW II (Gram) - ABW I (Gram) : Periode sampling (Hari)
c.
SR
(Survival Rate)
SR adalah
Tingkat kelangsungan hidup.
Rumus =
(Jumlah udang yang hidup : Jumlah tebar) × 100%.
d.
Biomassa
Biomassa
adalah Jumlah total berat udang yang ada di tambak (kg)
Rumus =
Pakan per hari (kg) x 100 %FR
e.
FR
(Feeding Rate)
FR adalah
Persentase pakan udang per Hari
Rumus =
Pakan perhari (kg) x 100 Biomassa (kg)
g.
FCR
(Feed Convertion Ratio)
FCR
adalah Perbandingan antara jumlah pakan yang digunakan dengan berat udang yang
dihasilkan.
Rumus =
Jumlah pakan yang habis (Kg) : Biomassa udang (kg).
h.
Populasi
Lebar Jala
3.3.
Metode Kerja
3.1.1.
Alat dan Bahan
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan
selama proses budidaya udang vaname.
No
|
Alat Dan Bahan
|
Kegunaan
|
Alat
|
|
|
1.
|
Tambak
|
Sebagai wadah budidaya
|
2.
|
Jala Lempar
|
Digunakan dalam
pengambilan sampling
|
3.
|
Kincir
|
Digunakan untuk
mengsuplai oksigen
|
4.
|
Ember
|
Sebagai tempat pakan
|
5.
|
Anco
|
Digunakan untuk
mengontrol pakan
|
6.
|
Do Meter
|
Digunakan untuk mengukur oksigen terlarut dan suhu
|
7.
|
pH meter
|
Digunakan untuk mengukur
pH air
|
8.
|
Handrepraktometer
|
Digunakan untuk mengukur
salinitas
|
9.
|
Timbangan
|
Digunakan untuk
menimbang pakan
|
10
|
Aerator
|
Digunakan untuk
pengaktifan probiotik
|
11
|
Gayung
|
Digunakan untuk
mengambil pakan
|
12
|
Keranjang / Basket
|
Digunakan untuk tempat
udang
|
13
|
Pompa
|
Digunakan untuk
pengisian dan pengeluaran air
|
14
|
Genset
|
Sumber tenaga listrik
|
|
|
|
|
Bahan
|
|
1
|
Udang Vaname
|
Organisme yang
dibudidayakan
|
3
|
Probiotik
|
Untuk menguraikan bahan
organik pada tambak
|
4
|
Pakan Buatan
|
Sebagai pakan udang
dalam proses pemeliharaan
|
5
|
Air Tawar
|
Untuk membersihkan
alat-alat yang telah digunakan
|
6
|
Air Laut
|
Sebagai media budidaya
|
7
|
Biofit
|
Suplemen untuk
pertumbuhan udang
|
8
|
Efikor
|
Sebagai bahan prebiotik
yang didorman kandungan bakteri bacillus
|
9
|
Molase
|
Sebagai bahan prebiotik
untuk penumbuhan bakteri yang dikultur
|
4.1
Prosedur
Kerja
4.1.1
Persiapan Lahan
1.
Perbaikan Pematang
v Alat
dan bahan disiapkan
v Pematang
yang bocor digali terlebih dahulu dengan menggunakan saplak, kemudian ditambal
dengan menggunakan lumpur dan campuran tanah yang keras.
2.
Pencucian Dasar Tambak
v Alat
dan bahan disiapkan
v Pintu
pengeluaran air di tutup dengan rapat dan pintu pemasukan air dibuka
v Tambak
diisi air sampai setinggi 50 cm, lalu pintu pemasukan ditutup
v Air
dalam tambak dibiarkan 1-2 hari dan pintu pengeluaran dibuka untuk membuang
semua air yang ada dalam tambak
3.
Pengeringan
v Pintu
pengeluaran air dibuka sampai air yang terdapat dalam petakan tambak habis
terkuras keluar, proses pengeringan dibantu oleh cahaya matahari.
v Pengeringan
dilakukan sampai tanah dasar tambak betul-betul kering dan tidak ada lagi air
dalam petakan atau sampai tanah dasar tambak retak-retak.
4.
Pemberantasan Hama
v Alat
dan bahan disiapkan
v Saponin
(bungkil biji teh) dimasukkan ke dalam baskom, kemudian direndam air selama
kurang lebih 4 jam
v Saponin
ditebar secara merata pada petakan tambak
5.
Pengapuran
v Alat
dan bahan disiapkan
v Kapur
dolomit dimasukkan ke dalam ember
v Kapur
ditebar secara merata pada petakan tambak dan bagian kemiringan pematang dengan
mengikuti arah angin.
6.
Pemupukan
v Alat
dan bahan di siapkan
v Semua
jenis pupuk dimasukkan ke dalam baskom yaitu pupuk NPK dengan dosis 5 ppm,
formulasi urea dan TSP masing-masing dengan dosis 3-5 ppm dan 2-3 ppm, Kemudian
aduk secara merata.
v Pupuk
ditebar secara merata pada petakan tambak.
7.
Pengisian Air
v Pintu
pengeluaran ditutup dengan rapat
v Pintu
pemasukan air dibuka sampai air yang masuk ke dalam petak tambak mencapai
120-150 cm. Kemudian pintu pemasukan air
ditutup.
8.
Penumbuhan Pakan Alami
a. Pembuatan
Permentasi
v Alat
dan bahan di siapkan
v Semua
bahan ditimbang sesuai takaran, kemudian masukkan semua bahan kedalam bak fiber
v Air
laut dimasukkan secara perlahan-lahan dengan menggunakan ember, berikan aerasi
agar fermentasi tersebut cepat bereaksi
v Fermentasi
dibiarkan selama ± 6 jam
v Hasil
fermentasi menunjukkan warna kuning kecoklatan dan mengeluarkan bau kecut.
v Fermentasi
siap di tebar pada petakan tambak
9.
Pemasangan Jembatan Pakan Dan Anco
v Jembatan
yang terbuat dari papan dipasang pada bagian atas penyangga, kemudian jembatan
dipaku pada balok penyangga.
v Anco
yang telah dibuat diikat pada bagian ujung jembatan.
10.
Pemasangan Kincir
v Kincir
diturungkan ke dalam petakan tambak satu persatu
v Jarak
antara kincir dengan pematang adalah 7 meter
v Kincir
dipasang dengan searah jarum jam
v Kabel
listrik dipasang pada sakelar dan disanbungkan dengan kincir.
4.1.2
Pemilihan Benur Dan Penebaran
1. Benur
yang dipilih adalah benur yang berkualitas dengan ukuran yang seragam, minimal
(PL 12), gerakan lincah, tahan terhadap parasit, warna tubuh seragam dan
necrosis tidak ada.
2. Kantong
benur diambil dan diapung-apungkan di atas air tambak ± 30 menit sampai suhu
air tambak dengan suhu air yang ada pada kantong benur kurang lebih sama.
3. Kantong
tersebut dibuka dan diisi air tambak secara perlahan-lahan secara terus menerus
sampai salinitas air dalam kantong kurang lebih sama dengan salinitas air
tambak.
4. Apabila
benur telah beradaptasi, benur dilepaskan dengan cara memiringkan kantong dan
membiarkan benur keluar dengan sendirinya.
5. Setelah
semua benur ditebar maka kincir dioperasikan
6. Penebaran
dilakukan pada pagi atau sore hari
4.1.3
Pemeliharaan
1. Manajemen
Kualitas Air
a.
Pergantian Air
v Pintu
pengeluaran air dibuka untuk mengeluarkan sejumlah air sesuai rencana
penggantian
v Pintu
pengeluaran ditutp rapat
v Pintu
pemasukan air dibuka untuk mengalirkan sejumlah air ke petakan tambak sesuai
rencana penggantian
v Pintu
pemasukan air ditutup rapat
b.
Pengukuran Kualitas Air
v Alat
dan bahan disiapkan
v Kecerahan
air diukur dengan menggunakan secchi disk dengan cara menurungkan ke dalam air
secara perlahan-lahan sampai bundaran warna putih tidak kelihatan. Kemudian
catat skala yang tertera pada tiang secchi disk tersebut.
v Do
dan suhu diukur dengan DO meter di aktifkan dengan menekan tombol ON. Bagian
sensor dimasukkan ke dalam air petakan ± 10 cm dari dasar tambak, kemudian
angka yang tertera pada DO meter di catat.
v pH
di ukur dengan cara pH meter diaktifkan dengan menekan tombol ON. Sensor pH yang ada pada ujung pH meter
dicelupkan pada permukaan air petakan, kemudian angka yang tertera pada layar
pH meter dicatat.
v Salinitas
diukur dengan cara bagian sensor Handrefraktometer berupa layar ditetesi air
tambak kemudian ditutup. Nilai pada layar Handrefraktometer dapat dilihat
dibawah sinar matahari, kemudian hasilnya dicatat
2. Manajemen
Pakan
1.
Pemberian pakan
v Alat
dan bahan disiapkan
v Pakan
ditimbang sesuai dosis
v Pakan
yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam ember yang telah disediakan
v Pakan
ditebar secara merata searah dengan jarum jam
2.
Pemberian Pakan dan Kontrol Pada Anco
v Alat
dan bahan disiapkan
v 1
% dari pakan diambil dari setiap pemberian pakan, kemudian di masukkan ke dalam
anco.
v Anco
diturungkan ke dalam petakan tambak secara perlahan-lahan agar pakan yang ada
di dalam anco tidak terhambur.
v Anco
dikontrol sesuai dengan jam kontrol yang telah ditentukan dan di angkat secara
perlahan-lahan
v Anco
diangkat ±10 cm dari bawah permukaan air, kemudian perhatikan kondisi pakan dan
kondisi udang yang ada pada anco
v Anco
yang telah diangkat dibersihkan dan diletakkan pada jembatan feeding.
3.
Sampling
v Alat
dan bahan disiapkan
v Titik
sampling ditentukan
v Jala
yang dilempar ke dalam petakan, diusahakan selebar mungkin.
v Jala
ditarik dan udang yang tertangkap diambil lalu dimasukkan ke dalam ember
v Udang
yang ada dalam ember ditimbang dan di catat beratnya.
v Sampling
dilakukan pada pagi hari.
4.1.4
Panen dan Pasca Panen
1.
Panen
v Alat
dan bahan disisapkan
v Air
petakan dikeluarkan kurang lebih 50% sebelum panen dimulai.
v Jaring kondom dipasang pada bagian pintu pengeluaran
air dengan rapat lalu filter pintu pengeluaran di buka secara perlahan-lahan
dan dilakukan pengeluaran air sampai udang hampir habis terikut aliran air dan
masuk ke jarring kondom
v Udang
yang masih tersisa pada petakan tambak ditangkap dengan menggunakan tangan dan
selanjutnya digabung dengan udang yang ditangkap dengan jariing kondom.
v Udang
yang masuk ke dalam jaring kondom dimasukkan kedalam basket sampai penuh dan
udang yang belum sempat tersaring ditangkap dengan menggunakan seser.
v Basket
penuh diangkut dengan menggunakan troli menuju prosesing.
2.
Pacsa Panen
v Alat
dan bahan disiapkan
v Udang
hasil panen ditimbang dan dicatat
v Setelah
ditimbang udang tersebut dibilas dengan menggunakan air tawar
v Udang
yang telah dibilas, dimasukkan ke dalam basket lalu disortir dan diberikan
kepada pembeli untuk diolah lebih lanjut.
3.4 Jadwal
Pelaksanaan Kegiatan
Jadwal Kegiatan Pengalaman Kerja Praktik Mahasiswa (PKPM) pada pembesaran
Udang Vannamei di tambak supra intensif PT. Esaputli Prakarsa Utama, Barru.
Tabel.2
Jadwal pelaksanaan kegiatan Penagalaman Praktik Kerja Mahasiswa (PKPM).
No
|
Kegiatan
|
Bulan
|
|||||||||||||||||||
Januri
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Mei
|
|||||||||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
Penyusunan
Proposal
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2
|
Pelaksanaan
Praktek Kerja Lapangan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3
|
Konsultasi
hasil paktek lapangan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4
|
Penyusunan
laporan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB
IV
PENUTUP
Demikian usulan proposal ini kami ajukan untuk dijadikan sebagai
acuan bahan pemikiran dalam kegiatan
Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa dengan mengharap pertimbangan serta
kerjasama yang solid demi kesuksesan dan kelancaran PKPM ini.
Akhirnya dengan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
melimpahkan Rahmat dan HidayahNya kepada kita semua, penulis akhiri usulan
proposal PKPM ini, mudah- mudahan mampu memberikan manfaat bagi kita
semua,.Amin…!
Billahi taufik wal hidayah
Wassalamu alaikum Wr
Wb.
Mandalle, 17 Januari
2015
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Kelautan
dan Perikanan, 2006. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Váname Secara Intensif.
Jakarta
Matsudarmo,
B dan B.S. Ranoemahardjo. 1980. Biologi
Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian.
Standar Prosedur Operasional
Pembesaran Udang Vannamei. 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya.
Diakses pada tanggal 27 November
2014
Wiban dan
Sweeny, 1991. Morfologi Udang Vanmae
(Litopenaeus vannamei). Ditjen Perikanan Departemen Pertania, Jakarta.
Standar Prosedur Operasional
Pembesaran Udang Vannamei. 2007. Departemen
Kelautan
dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Arifin, dkk., 2009. Teknik Produksi Udang Váname
(Litopenaeus vannamei) Secara Sederhana, Jakarta
Buwono, D. W., 2001. Tambak Udang Windu Sistem
Pengelolaan Berpola Intensif. Kanisius,
Yogyakarta
Haliman, R. W,
dan Dian, A. S., 2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya, Jakarta.
Adijaya. D. S.
dan Widodo R. H., 2005. Budidaya Udang Vannamei, Situbondo.
Boone. 1931. Litopenaeus
vannamei. http://www.itis.gov
Sulistinarto. D., 2008. Manajemen Pemeliharaan
Budidaya Udang Berwawasan Lingkungan, Balai Besar Budidaya Air Payau, Jepara.
Amri. 2008. Budidaya Udang Vaname secara
Intensif. Semi Intensif dan Tradisional, Rahasia Suksesusaha perikanan
PT.Granmedia puataka utama. Jakarta
Briggs,
dkk. 2004. Introductions and Movement
of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and The Pacific. FAO.
Bangkok
Suprapto,
2005. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Bandar Lampung.
Soehardjan, M.
1994. Fungsi dan struktur artikel tinjauan (Review artikel). Makalah pada seminar intern Puslitbangtri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar